Oleh: Agus SB

Pengajar Antropologi-IAIN Ternate

_______

BAGI seorang muslim terpelajar, terlebih lagi yang menggeluti Ilmu-ilmu Ke-Islam-an, lebih memahami kaitan surah Al-Alaq dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Surah yang menjadi basis moral dari pendidikan, dan kewajiban seorang muslim untuk menggeluti ilmu pengetahuan. Latar bidang keahlian saya bukan dalam bidang ilmu Ke-Islam-an sehingga tulisan ini boleh jadi mencerminkan kelemahan atau bahkan ketidaktahuan saya. Keinginan semata merayakan turunya surah pertama kepada Nabi Muhammad SAW, Al-Alaq, melahirkan tulisan singkat ini.

Surah Al-Alaq diawali dengan kata “Iqra”, “bacalah”! Kata pertama ini, dan ayat-ayat selanjutnya, merupakan perintah kepada manusia untuk “belajar”. “Membaca” atau “belajar”, karena itu, bagi setiap muslim tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan “ingin tahu” (curiositas), juga kewajiban kepada Allah SWT. “Belajar” adalah laku mutlak dalam proses pendidikan yang melibatkan “membaca”, “berhitung” dan “menulis”. Dalam arti harfiah, “berhitung” dan “menulis” tidak bisa tidak melibatkan “membaca”. Ketiga aspek dari “belajar” tersebut merupakan paket “kemampuan dasar” yang mutlak harus dimiliki seorang pembelajar, dan pada ketiganya kualitas pendidikan peserta didik selalu ditakar.

Pada surah Al-Alaq ini (dan ayat-ayat tertentu dari surah Al-Baqarah, akan dijelaskan di
bawah), memberikan gambaran eksplisit mengenai peran Allah SWT pada kemampuan manusia “membaca, berhitung, menulis” dan pengetahuan yang dimiliki manusia. Agar dapat memahami pernyataan hal itu, satu cara tepat di antara cara lainnya, barangkali, yaitu mengajukan pertanyaan: “apa yang memungkinkan manusia dapat “membaca”, “berhitung” dan “menulis”? Kita dapat mengatakan, kemampuan itu dimungkinkan oleh karena manusia memiliki otak (brain) dan akalbudi (mind). Tetapi, di situlah tepatnya, terdapat rahasia yang tidak mudah dijawab. Mungkin tidak sulit menjawab apa itu “otak”, yakni salah satu organ biologis manusia, yang dengannya
manusia berpikir, bernalar. Tetapi apa itu “akalbudi”? Dengan “akalbudi” (mind), Donald B. Calne, profesor Neurologi University of British Columbia, mengatakan Akalbudi “merupakan dunia batin (inside world) kita, di mana kita mengalami pergolakan pikiran dan emosi, di mana kita memahami (perceive), memercayai, mengenang, dan di mana kita membentuk citra tentang dunia luar” (2005: 374). Richard Leakey, ahli paleoantropologi, mengatakan “akalbudi adalah sumber rasa diri (self)—suatu rasa yang terkadang bersifat pribadi, dan terkadang dibagi dengan orang lain. …juga suatu saluran untuk menjangkau dunia di luar benda-benda materi sehari-hari,
melalui imajinasi; dan akalbudi menjadi sarana bagi kita untuk mengubah dunia abstrak menjadi kenyataan pusparagam” (2003:184-5). Kedua pendapat tersebut hanya berselisih dalam cara pengungkapannya. Tetapi Calne melanjutkan, “Mungkin kita mengira memahami akalbudi lebih baik daripada semua yang lain, cuma karena akalbudi bersifat sangat pribadi. Tapi perkiraan itu meleset jauh, karena akalbudi adalah salah satu rahasia paling besar dalam diri kita. Mengusahakan agar akalbudi menjelaskan kodratnya sama dengan meminta mata memeriksa diri sendiri—banyak kesulitannya” (ibid: 371). Demikian halnya, Leakey mengatakan, “Definisi-definisi operasional yang terpusat pada kemampuan memantau serba keadaan mental sendiri, mungkin secara obyektif akurat dalam arti tertentu, tetapi …tidak berurusan dengan cara kita mengetahui bahwa kita sadar akan diri sendiri dan …keberadaan diri sendiri” (2003:184).

Jadi, apa yang memungkinkan kita, seperti dikatakan Calne, “memahami (perceive), mempercayai, mengenang, dan membentuk citra tentang dunia luar”, dan kata Leakey, berimajinasi? Calne dan Leakey tidak memberitahu kepada kita potensi apa yang memungkinkan semua itu. Bahasa, seperti disinggung oleh keduanya, memungkinkan kita berpikir/bernalar, memahami, memercayai, mengenang, membentuk citra atau gambaran di dalam benak atau mental. Tetapi bagaimana manusia dapat menciptakan bahasa dan dalam perkembangan kemudian dapat mematerialkannya menjadi ‘abjad’ dan ‘angka?’ Dihadapkan masalah pelik yang sulit dijawab seperti di atas, para ilmuwan mengatakan sikap yang berbeda-beda. Di dalam bab “Nalar Bela Agama” pada bukunya “Batas Nalar. Rasionalitas dan Perilaku Manusia” (2005), Calne mengatakan: “Sebagian ilmuwan menyimpulkan bahwa bidang sains terbatas pada soal-soal “bagaimana”, sementara agama berurusan dengan soal-soal “mengapa”, jadi tidak ada pertentangan di antara keduanya. Sebagian ilmuwan sampai pada pemahaman yang… membuat mereka bisa mengakui bahwa sesungguhnya mereka tidak tahu apa-apa karena kebenaran tertinggi itu tak bisa diketahui. Semua anggapan ini mencerminkan sikap rendah-hati para pegiat yang mengabdikan diri untuk mengembangkan pengetahuan tanpa prasangka. Mereka meredakan anggapan mengenai ilmuwan yang menafikan segala hal yang tidak bisa diteliti”. Naturalis Inggris
abad-19, Alfred Russel Wallace yang juga menciptakan teori seleksi alam terpisah dari Darwin, tulis Leakey, menolak menerapkan teorinya pada aspek-aspek kemanusiaan yang paling kita junjung. Wallace menganggap manusia terlalu cerdas, terlalu beradab, terlalu canggih sebagai produk seleksi alam semata. Ia merasa, lanjut Leakey, tentulah campurtangan supernatural yang menjadikan manusia sedemikian istimewa. Kurangnya keyakinan Wallace pada kekuatan seleksi alam membuat Darwin sangat jengkel (2003:6).

Jadi, ‘pertanyaan di atas belum atau tak terjawab’. Bagi seorang muslim, yang meyakini seyakin-yakinnya, Islam menyediakan penjelasannya. Di antara kemungkinan (karena saya tidak banyak mengetahuinya) banyak surah di dalam Al-qur’an yang menjelaskan bagaimana Allah
SWT mengajarkan kepada manusia pengetahuan-NYA, di antaranya adalah surah Al-Alaq, surah monumental dalam sejarah pewahyuan Islam dan ke-Nabi-an Muhammad SAW. Terdapat lima ayat dalam surah Al-Alaq yang relatif eksplisit menjelaskan “peran” Allah SWT di dalam
“pembentukan pengetahuan” manusia, berturut-turut: (1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, (2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, (3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, (4) Yang mengajar (manusia) dengan pena, (5) Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Pada ayat (1) dan (3) dengan jelas menunjukkan kata perintah (“Bacalah!). Kata “bacalah” artinya “belajarlah”!, “menalarlah”.

Dalam bahasa Arab, kata “Iqra”, “qaraa”, “yaqrau” yang secara harfiah berarti “membaca”, sebagaima kita pahami; dan kata lain terkait yaitu “thala’ah – yuthali’u – thali’, yang artinya membaca dengan teliti, disertai analisa, menelaah; “Rattala – yurattilu – rattil”, artinya membaca dengan perlahan dan jelas (terimakasih kepada Hamdi M. Zen, atas masukannya). Dengan cara ini, dengan kata kerja “Iqra” ini, melalui atau dengan “proses belajar” dalam pengertian yang mencakup keseluruhan arti dari kata “iqra”, seorang muslim serentak “me-Mulia-kan” Allah SWT (ayat [3] “Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia”).

Kemampuan “membaca” dalam pengertian dari keseluruhan arti kata “iqra” tersebut dimungkinkan oleh karena “peran” Allah SWT dalam “membentuk” fondasi organik berupa otak (brain). Di atas fondasi organik ini, manusia berpikir (think), memahami (perceive), mempercayai, mengenang, berimajinasi, membentuk citra (image) tentang dunia luar”. Namun, gerakan akalbudi ini hanya mungkin oleh “piranti bahasa”, dan peranti ini diajarkan atau diberikan oleh Allah SWT.

Donal B. Calne (Ibid:40) mengatakan mengenai bahasa dan nalar, “masing-masing merupakan produk biologis”, tetapi ia tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana potensi biologis manusia memproduksi bahasa dan nalar. Allah SWT menerangkan dalam surah Al-Baqarah. Pada ayat 31 Allah SWT: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam “nama-nama” (benda-benda) seluruhnya (tanda petik ditambahkan), kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar!”. Kemudian, pada ayat 32, para Malaikat menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Allah SWT menegaskan selanjutnya pada ayat ke 33: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka “nama-nama” benda ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka “nama-nama” benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”

Dalam pemahaman saya, “nama-nama” di dalam ayat di atas adalah “bahasa” (language), dan karena bahasa mengandung pengetahuan, maka “nama-nama” itu sendiri dapat berarti “pengetahuan”. Allah SWT mengajarkan “nama-nama”, “bahasa”, dan karena itu, “pengetahuan”. Perangkat “bahasa” dan “pengetahuan” ini memungkinkan manusia bernalar dan memahami dunia batinnya (inner world) dan dunia di luar dirinya; dirinya berrelasi dan berkomunikasi dengan Allah SWT dalam berbagai cara; berkomunikasi dengan dirinya sendiri (silent silolique), dan dengan manusia lain dalam berbagai cara dan konteks; berrelasi dan berkomunikasi dengan semesta lingkungn sosial dan fisikal; berrelasi dan berkomunikasi dengan dunia gaib/supranatural; dengan bahasa manusia menyusun pengetahuannya dari berbagai pengalaman (experience) dan konteks. Bagaimana relasi multi-dimensional dari manusia ini berjalan diatur pada surah-surah lainnya di dalam kitab suci Al-Qur’an. Dalam konteks tulisan ini, dikatakan Seyyed Hossein Nasr, nama-nama yang menunjuk pada kitab suci terkait dengan ilmu pengetahuan: “Al-Qur’an” ‘bacaan’ (recitation), “al-furqan” ‘kearifan’ atau ‘kecerdasan’ (discernment), dan “umm al-kitab” ‘induk dari semua kitab’. Hampir pada semua surahnya menyinggung pentingnya berpikir dan ilmu pengetahuan, dan ayat-ayat pertama yang diturunkan berkaitan dengan ‘bacaan’ (iqra’) (recitation) yang menyiratkan pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan atau science (Knowledge and The Sacred, 1989:13).

Baik surah Al-Alaq maupun Al-Baqarah yang dikutipkan di atas, menunjukkan peran Allah SWT pada ketiga aspek dasar dari kemampuan kognitif manusia dalam “belajar”. Banyak dari kita, barangkali, pernah membaca tafsir yang mengatakan kata “bacalah!” di dalam surah Al-Alaq tidak terbatas pengertian hanya membaca ayat-ayat atau firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an, tetapi juga pada ayat-ayat-NYA yang terhampar di seluruh semesta alam dan pada diri manusia itu sendiri. Kesemua itu adalah “tanda-tanda” bagi yang berakal, dan Cavallaro (2004:89) mengartikan ‘pembacaan’ atau ‘membaca’ sebagai proses dimana manusia terlibat setiap saat, seperti mencoba memahami dunia atau menafsirkan tanda-tanda yang mengelilinginya, dimana tanda-tanda (signs) dapat berupa fenomena sosial, budaya, ekonomi, politik dan alam fisik.

Kemampuan “belajar” dan “pengetahuan” yang kita miliki, dengan demikian, merupakan anugerah Allah SWT. Dengan karunia kemampuan itu kita dapat dipercayakan memikul dan bertanggungjawab atas amanat tertentu (entah jabatan, entah profesi). Sayangnya, kebenaran yang diajarkan oleh agama ini kerapkali luput atau lolos atau hilang dari kesadaran generik seseorang ketika mengemban amanat yang diberikan dalam berbagai konteks dan profesi. Jika di kemudian hari kebenaran itu lenyap dari kesadaran ketika berada dalam “ruang nyaman penuh kenikmatan kekuasaan”, maka apakah “kebenaran” ini memang pernah diajarkan kepada para peserta didik dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, bahwa otak (dan keseluruhan tubuh, ruh dan hidup) dan kemampuan berpikir (membaca, berhitung, menulis), bersama pengetahuan keahlian yang dimiliki merupakan pemberian Allah SWT? Apa yang kita namakan kualitas pendidikan, karena itu, bukan semata “outcome” dari kapasitas kognitif yang berisikan pengetahuan dan ketrampilan, tetapi juga kesadaran “yang selalu terbawa-bawa” mengenai peran Allah SWT Ilahiah dan moralitas (baik, buruk, salah, dan benar) di dalam kemampuan kita berpikir, membaca, berhitung, menulis dan pengetahuan yang kita miliki itu sendiri. Bukan hanya etika akademik seperti “jangan berbohong”, “jangan tukangi data”, “jangan mencuri gagasan orang lain”, dan aspek terkait lainnya yang telah (atau tidak) diajarkan kepada peserta didik. Kesadaran mengenai inherennya dimensi atau aspek “Ilahiah” di dalam kemampuan kognitif melahirkan manusia intelek yang bijak.

Dalam bahasa Seyyed Hossein Nasr,
orang bijak yang berilmu atau berilmu disebut “al-`arif bi’Li’ah, “orang yang berilmu mengetahui melalui atau dengan Tuhan” dan tidak hanya orang berilmu yang mengetahui Tuhan. Kata Arab untuk intelek “al-aql” terkait dengan kata “mengikat” (to bind). Karena, menurutnya, kata itulah yang mengikat manusia dengan Asalnya. Secara etimologis kata itu, lanjut Nasr, dapat dibandingkan dengan agama itu sendiri, karena dalam hal ini religio (agama, pen.) juga mengikat dan menghubungkan manusia dengan Tuhan”. Kecerdasan itu sendiri, tegas Nasr, pada hakikatnya memiliki karakter sakral (“intelligence being itself ultimately of a sacred character”) (Ibid,13-24).

Astaghfirullahaladzim, jika saya salah. (*)