Oleh: Anwar Husen
Tinggal di Tidore
_______
POTONGAN video pendek itu singgah di beranda akun Facebook saya. Dari sudut ketinggian, terlihat pelayat yang berjubel dan sejauh mata memandang sedang mengumandangkan kalimat zikir, mengantarkan jenazah sang kyai ke tempat peristirahatan terakhirnya. Tempat itu namanya Bibinoi. Terhitung dua kali saya sempat berada di tempat ini, untuk hal sama, turut mengantarkan kakak sang kiai yang berpulang ke tempat pemakaman ini beberapa tahun lalu. Bibinoi, sebuah perkampungan agak terisolir di sudut Halmahera Selatan. Saat itu tak ada jaringan telepon seluler. Jalan menjangkaunya juga tak “mewah”, menyusuri semak. Kehidupan Bibinoi terkesan begitu sederhana dan sulit mengesankan ini adalah tempat kelahiran “orang-orang penting” di daerah ini, sederetan bupati kabupaten Halmahera Selatan, salah satu kabupaten besar di Maluku Utara, hingga Gubernur Provinsi Maluku Utara, KH Abdul Gani Kasuba, Lc. Kala itu, yang kumandang khidmat kalimat zikir tadi mengantar jenazah sang mantan gubernur provinsi Maluku Utara yang hebat ini ke tempat peristirahatan terakhir yang dipilihnya.
Saat membagi potongan video pendek tadi ke story, saya tergerak memberinya judul, “Buah dari Kesabaran yang Paripurna”. Karib saya di Ternate, ustaz Ajijuddin Amin, yang juga adalah alumni IAIN Ternate, dan sering menyimak tulisan-tulisan pendek saya, mengirim pesan, alangkah indahnya jika judul tadi dibuat tulisan. Dan pesan karib ini jadi pemantiknya.
Di sebuah tulisan pendek yang diunggah, putra sang kyai, Muhammad Thariq Kasuba, memberi sedikit kesaksian tentang profil ayahnya yang sebagai kepala keluarga, sering memberi nasihat dan wejangan tentang kesederhanaan hidup, hal yang sangat kasat terlihat kental pada keseharian sosok sang kyai. Dan potongan video lainnya yang bikin sedih, adik sang kyai, Muhammad Kasuba, mengungkap permintaan dan harapan almarhum sang kakak untuk segera membawanya kembali ke kampung halaman, Bibinoi tadi. Bibinoi dan sang kyai kharismatik ini adalah gambaran dan simbol kesederhanaan. Kembali ke Bibinoi, kembali memeluk kesederhanaan dan kesunyian di tanah kelahiran.
Kesederhanaan hidup, penyantun, ketulusan dan bersih hati, adalah kesannya yang paling menonjol bagi saya. Dibodohi hingga dikhianati pun, tak dipikirkan, apalagi dipandangnya dengan curiga. Di Twitter, pesan ini saya dapati dari pemilik akun @PenaIkhwan. Orang yang disakiti ada tiga level. Level pertama dia akan menangis, level kedua dia akan diam dan level ketiga dia hanya tersenyum. Dia sudah tahu rahasia dari setiap ujian kalau sudah di level ketiga ini. Dan justru sinilah sesungguhnya tantangan berupa baris demi baris “naskah sandiwara” itu ditulis oleh banyak orang, bahkan mungkin orang dekatnya sendiri.
Di Jumat dini hari, di pekan sebelumnya, bertepatan di ulang tahun saya, tiba-tiba saja saya tergerak mengomentari sebuah berita tentang kondisi kesehatan sang kyai, di ruang ICU RSUD Ternate, sembari mendoakannya, di beberapa grup WhatsApp berbeda. Ini potongan harapan dan doa itu, Di malam penuh berkah ini, semoga Allah SWT. berkenan menunjukkan kebesaran-Nya. Aamiin. Dan “kebesaran” Sang Ilahi itu, di tampakkan-Nya di Jumat pekan berikutnya, di kemuliaan malam 15 ramadan. Dan ini menandai, akhir cerita dan “skenario” dari sang pembuat skenario sesungguhnya, Allah SWT, atas diri sang kyai.
Dan pesannya, tidaklah yang patut dikenang dari yang telah berpulang, kecuali kebaikan-kebaikannya. Saya tak lama bersua dengannya. Terhitung hanya kurang lebih tiga tahun menjadi bawahan di pemerintahannya kala itu. Tak juga pernah menjadi bagian dari anak didiknya di sekolah-sekolah hingga pesantren Alkhairaat, yang membuat sosok langka ini begitu dikenal dan mengakar sejak lama. Hanya ada secuil memori yang membekas hingga saat ini. Ketika mengetahui bahwa sang kyai ini memutuskan maju berkontestasi pada pemilihan gubernur di periode pertamanya, sang ibunda saya berpesan khusus buat saya untuk memilih dan mendukungnya. Almarhumah ibunda saya kala itu mengenang kebaikan sosok ini di musim haji tahun 2010. Dan pesan buat saya, untuk memilih dan mendukungnya, mungkin adalah cara lain untuk mengenang, kalau bukan membalas kebaikan sang kyai itu.
Di sebuah kegiatan kunjungan kerja sebagai gubernur, iring-iringan rombongan kami pernah berbelok arah tanpa rencana. Itu terjadi wilayah Kao, kabupaten Halmahera Utara. Menyinggahi pelosok terpencil yang terbilang jauh dari jalan poros, hanya untuk mengecek sebuah tempat. Tempat yang jauh di masa itu, di tahun 70-an, pernah menjadi persinggahan dakwah sang kyai. Dan itu adalah alasan dan jejaknya bahwa di masa itu, mungkin banyak anak-anak seusia saya yang telah cukup mengakrabi namanya meski belum bersua wajah dengan sosok sederhana ini.
Jangan berbicara lebih hingga mungkin merasa menjadi pahlawan tentang jejak dan kiprah pendidikan hingga dakwah di Maluku Utara, jika kita mau bersikap jujur pada sejarah. Sosok sang kyai ini, bisa dibilang, salah satu perekat dasar peradaban islami yang paling monumental, yang di masa ketika wilayah ini masih “rimba belantara”, sang kyai ini telah malang-melintang menjelahi pelosok Halmahera dan sudut-sudut terpencil wilayah ini, untuk dan atas nama pendidikan dan dakwah. Kelompok usia Baby Boomers, sejatinya menjadi segmen usia yang paling utuh menilai kiprahnya secara berimbang. Rasanya tak fair mengambil “jalan pintas”, meski mungkin semua itu tak dibutuhkan sang pemilik hati yang bening ini.
Di sebuah kesempatan, ketika seorang karib mencoba membandingkan kondisi fisik sang kyai dengan sosok mantan kepala daerah lainnya yang seusia, yang terlihat masih fresh, saya menanggapinya bahwa “medan” yang dilalui di masa lalu yang berbeda, yang mempengaruhi dan membentuk kondisi fisik mereka. Apa maksudnya, menghabiskan masa muda dengan aktivitas menjamah belantara Halmahera tadi, yang jadi pembeda. Bukan masa muda yang dihabiskan di ruangan ber-AC hingga sarapan dengan menu serba ada.
Sejatinya, ketahanan menghadapi masalah dan ujian itu bukanlah dominan fisikal tetapi lebih pada mental untuk kuat bersabar. Tak banyak sosok, kalau tak bisa dibilang nyaris tak ada, punya daya tahan kesabaran luar biasa ketika menghadapi serbuan masalah maha dahsyat, di usia senja, dan dengan senyum pula. Hanya orang-orang pilihan-Nya yang mampu menjalani ini. Saya membaca pesan berlatih kesabaran dari sang kyai, yang diunggah salah satu keluarganya di akun Facebook, rutin membacakan minimal 100 ayat Alquran sebelum tidur, subhanallah. Innallaha Ma’ashobirin.
Di sebuah kutipan, filsuf Aristoteles bilang bahwa 95 persen dari semua yang Anda lakukan adalah hasil dari kebiasaan. Pesan ini bisa bermakna betapa besar pengaruh kebiasaan dalam kehidupan kita, tanpa kita sadari. Bahkan sebagian besar tindakan kita bukanlah hasil dari keputusan sadar, tetapi refleksi dari kebiasaan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun.
Dan pesan agama, akhir hidup seseorang mengiringi dan mengikuti kebiasaan selama hidupnya. Dan sang kyai kharismatik ini, di sebuah unggahan foto, terlihat khusuk sedang mengamati serius kitab suci AlQuran di genggamannya, di ruang opnamenya di rumah sakit.
Banyak kisah “kontroversi” para “Perindu Tuhan” dalam literatur khasanah Islam di masa lalu, memberi pesan, pelajaran dan hikmah, bahwa “petunjuk” tentang hakikat kebenaran itu, justru tersingkap setelah akhir hayat mereka. Semoga arwah sang kyai pilihan ini, ditempatkan pada sebaik-baiknya tempat di sisi-Nya. Buah dari kesabaran yang paripurna. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan