“Umpamanya riwayat penyakitnya mempengaruhi vaksin ini ya kita tidak boleh kasih,” kata dia.

Riwayat penyakit keras itu misalnya anak dengan HIV/AIDS. Pasalnya daya tahan tubuh anak itu tidak mampu melawan vaksin polio.

Selain HIV/AIDS, penerima vaksin yang sedang menjalani terapi prednison karena penyakit ginjal juga tidak boleh divaksin.

“Tapi kalau terapi prednisonnya sudah 1 tahun berlalu, itu bisa dikasih vaksin polio,” tutur Nani.

Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Utara Irwan Mustafa di kesempatan yang sama menyatakan, imunisasi pada umumnya akan diikuti dengan KIPI. KIPI pada anak yang divaksin bisa berupa demam, bengkak, hingga kemerahan pada kulit.

“Namun vaksin tetes polio ini tidak memiliki efek samping negatif. KIPI-nya pun sangat minim ditemukan,” ujarnya.

Meski begitu, tenaga kesehatan wajib memberikan penjelasan soal KIPI kepada orang tua sebelum anak divaksin. Dengan begitu, jika anak demam atau bengkak setelah diimunisasi maka orang tua tidak panik dan tahu cara mengatasinya.

“Misalnya kalau demam maka anak bisa dikasih Paracetamol. Lalu kalau bengkak maka bisa dikompres dengan air matang dingin,” tuturnya.

Ia berharap para peserta membantu memberikan sosialisasi kepada masyarakat betapa pentingnya imunisasi IPV-2.