Oleh: Komaruddin Nursi Kasman Ar
_______
BEBERAPA waktu yang lalu, saya sempat membaca sebuah tulisan dari Saiful Bahri Ruray (Om Ipul) yang berjudul “Pemilu 2024 Bukanlah Pemilu Biasa”. Tulisan ini diteruskan kepada saya oleh Ayahanda Kasman melalui pesan WhatsApp. Sebelumnya, beliau bersama dengan saya sempat berdialog dan bertukar pikiran terkait dengan strategi ampuh apa yang bisa memajukan daerah kita tercinta, Maluku Utara.
Dari hasil diskusi tersebut, didapatilah bahwa salah satu cara atau media untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah dengan literasi. Dengan tulisan-tulisan yang berkualitas, dapat menyuguhkan asupan-asupan yang dibutuhkan oleh para akademisi, cendekiawan, dan para intelektual kita, sekaligus tulisan-tulisan yang persuasif sehingga dapat diterima dan mampu mengajak semua kalangan. Akan tetapi tulisan-tulisan tersebut hanya bisa dibuat oleh para penulis-penulis yang andal. Maka dari itu, saya yang merupakan salah satu kader dari Ayah Kasman, diminta agar mulai meningkatkan volume bacaan-bacaan sekaligus dari beberapa tokoh penulis untuk bisa memperkaya khazanah pengetahuan serta mempelajari karakteristik dan gaya penulisan dari tiap-tiap penulis tersebut, dan Om Ipul merupakan salah satu tokoh yang Ayah Kasman rekomendasikan untuk saya ambil dan gali pelajaran sebanyak-banyaknya.
Adapun tujuan sebenarnya saya menulis tulisan ini tak lain adalah karena ktertarikan saya terhadap konten dan tema dari tulisan yang dibawa oleh Om Ipul pada tulisan yang telah disebutkan sebelumnya. Yang mana dalam tulisan Om Ipul tersebut membahas terkait dengan Indonesia yang saat ini tengah menyelenggarakan pesta demokrasi yaitu Pemilu 2024. Kepala negara dan perwalikan legislatif tiap-tiap daerah dipilih untuk menjalankan roda pemerintahan negara kita dalam 5 tahun ke depan.
Setelah membaca tulisan tersebut secara seksama, dapat saya pahami bahwasanya bersamaan dengan Pemilu 2024, dari sudut pandang secara global, ternyata Indonesia saat ini tengah berada dalam masa-masa genting. Di mana Cina, Sang Singa Asia telah menunjukkan tanda-tanda bahwa dalam waktu dekat akan terbangun dari tidurnya yang panjang. Amerika yang dalam beberapa dekade ini telah menjadi kekuatan adidaya di dunia pasca kejatuhan Uni Soviet pada 1992, merasa bahwa hegemoninya kian terancam, mulai mengambil langkah untuk menghadapi Cina.
Perang dingin yang terjadi antara Amerika dan Cina saat ini juga tak bisa dielak lagi, persaingan dagang, perang ekonomi, konflik politik telah menjadikan stabilitas internasional dewasa ini goyah. Dalam persaingan dagang dan ekonomi, Cina menargetkan Asia sebagai pasar yang kelak akan didominasi olehnya, mengingat 2/3 total populasi dunia mendiami kawasan tersebut. Terlebih lagi kekayaan sumber daya alam yang tersimpan begitu berlimpah, berpotensi untuk dieksplorasi. Amerika yang juga melihat potensi-potensi Asia tersebut tak tinggal diam. Melihat pengaruh Cina yang semakin marak, mereka mulai berusaha untuk tetap melemahkan potensi-potensi asia yang coba tuk dikembangkan. Hal ini salah satunya bisa dilihat dari penolakan kompak oleh WTO yang didukung oleh Uni Eropa bersama Amerika terhadap mosi yang diajukan Indonesia terkait menghilirisasi dan meningkatkan nilai dan harga jual nikel hasil produksinya. Tentunya hal ini juga menjadi tantangan yang mempersulit cina sendiri.
Dalam aspek politik, saat ini konflik yang terjadi di negeri Palestina telah mencuri perhatian internasional. Genosida yang terjadi kepada saudara-saudara kita di Palestina oleh penjajah israel telah memposisikan Israel beserta bekingannya (di antaranya Amerika) menjadi antagonis berdasarkan kacamata publik secara mayoritas. Meskipun demikian, putusan yang diberikan oleh International Court of Justice (ICJ) pada Jumat (26/1) lalu dirasa tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap Israel. Tampaknya tulang punggung israel, yaitu Amerika, masihlah memiliki hegemoni yang kuat terhadap negara-negara berpengaruh di dunia. Tak sia-sia kebijakan strategi Marshall Plan untuk membangun kembali Eropa sekaligus pembentukan NATO yang menjadi pelindung dari arus paham komunis. Semua itu semakin memperkuat hegemoni tersebut. Cina dalam hal ini, meskipun bersikap netral di hadapan dunia, namun diam-diam di bawah tanah bersama Rusia membantu Palestina dengan cara memasok logistik dan senjata bagi para pejuang-pejuang Al-Aqsa.
Selain dari pada hal di atas, dapat dipastikan juga bahwasanya konflik kedua negara superpower tersebut akan mencapai titik klimaksnya dalam waktu dekat. Dan dapat dipastikan juga bahwa hamparan Samudera Pasifik akan menjadi panggung sekaligus titik temu konfrontasi keduanya.
Tinggalkan Balasan