Kedua, menurut Ninik, perpres publisher rights memberikan jaminan untuk keadilan pembagian revenue kepada media maupun platform atas iklan yang didapat dari konten berita yang diproduksi oleh publisher.
“Karena ini didukung bersama, disusun bersama, kami yakin perpres bisa diterima oleh platform, oleh media, dan masyarakat. Oleh karena itu kami sangat berharap untuk segera disahkan. Saya dapat informasi penanya sudah di atas kertas,” kata Ninik.
Menyoal demam Artificial Intelligence (AI) for media, Ninik menyatakan perlu digunakan secara bijak apakah AI dalam algoritmanya justru ikut memperbesar persebaran haoks, misinformasi dan disinformasi atau justru menenggelamkan pers kita.
“Satu sisi melihat AI membantu kerja kawan-kawan, tetapi tetap memerlukan catatan penting bahwa penggunaan AI harus transparans, ada declare bahwa konten ini dibuat dengan memakai AI, dan harus diikuti dengan cek fakta supaya pemberitaan yang dikeluarkan tetap memberi data yang valid. Jangan sampai teknologi gegap gempita justru menenggelamkan kerja dan karya jurnalistik kita,” tambah Ninik.
Menurut Ninik, selama belum ada aturan penggunaan AI, tidak berarti jurnalis tidak bisa mengendalikan. Ada kode etik, pedoman pemberitaan media, perlindungan hak cipta.
“Pakai dulu pedoman ini pun cukup,” tegasnya.
Dalam diskusi terbuka bertema “What’s Next After Publisher’s Right: AI For Media AMSI menghadirkan Ninik Rahayu (Ketua Dewan Pers), Indri D. Saptaningrum (Staf Ahli Wakil Menteri Kominfo), Dian Gemiano (Ketua Umum Indonesian Digital Association), dan Apni Jaya Putra (AI Media Development TVOne.ai yang juga pengurus AMSI). Diskusi ini dimoderatori oleh Helena Rea, Head of Project BBC Media Action. Diskusi didukung oleh Minderoo Foundation, BNI, PT PLN, PT Telkom Indonesia, dan Astra Honda Motor (AHM).
Tinggalkan Balasan