Kalau di laut kita masih susah “menebak” perilaku ikan hingga wilayah tangkapnya, di darat masih lebih mudah. Apalagi teknologi pertanian kita sudah bisa mengintervensi banyak hal, termasuk soal cuaca. Tak usah dulu kita bicara soal satuan keterpenuhan gizi ikan kalau dianggap masih sulit, meski seharusnya, nilai gizi ikan per orang, per sekali makan adalah esensi targetnya, baik secara nasional maupun menurut organisasi kesehatan dunia. Kita bertahan di target asal bisa makan kenyang dengan makanan “berasa” ikan dululah.

Jika perlakuan dari APBD pada periode 5 tahun program dan program OPD “tak berdaya” mengintervensi hal yang menjadi tugas pokoknya, minimal secara perlahan, sama halnya tak perlu OPD-nya hanya membuang-buang uang jika pada akhirnya perlakuan harga dan lain-lain, bisa “diatur” pihak lain. Saya dan karib tadi bersepakat, membentuk koperasi perikanan, mungkin pilihan paling rasional menjadi intervensi awal.

***

Sepupu saya dari kampung sebelah mengutarakan rasa kesalnya usai menghadiri sebuah acara dari komunitas pendidikan di kawasan Tugulufa beberapa waktu lalu soal anjuran makan ikan. Dia bilang, bukan anak-anak kita yang tidak mau lagi makan ikan hingga perlu acara begini untuk mengugah mereka, tetapi faktanya harga ikan memang mahal. Saya berseloroh, sesekali kita bikin lomba makan ikan gratis, bisa-bisa panitianya bangkrut. Tawa pun pecah mengakhiri kerisauannya di siang itu.

***

Dalam “urusan ikan” ini, kita pernah punya masa lalu yang gemilang. Kelurahan Tomalou di Pulau Tidore, mewariskan memori sejarah itu puluhan tahun silam, saat wilayah tangkap, armada tangkap hingga teknologi dan variabel lainnya “menggusur” para nelayan hebat ini untuk melanglang buana makin jauh.

Sebuah festival besar “terpaksa” digaungkan untuk meng-install lagi memori kolektif kita tentang cerita sebuah pulau yang dikelilingi laut hingga hendak mempengaruhi perlakuan kebijakan di level pemerintahan. Masa kecil saya adalah masa-masa kami akrab dengan teriakan “nyao re” di depan kediaman kami di kompleks Garolaha, kelurahan Gamtuflange. Teriakan bermakna telah ada kumpulan ikan-ikan yang akan dijaring dan menjadikannya umpan, dari perahu bermotor fiberglass ini, memecah pagi, hampir di setiap waktu.

Kita pernah punya kampung-kampung nelayan lainnya yang hebat, yang kini bertransformasi hingga ada yang tinggal jejak. Sebut saja Mareku di pulau Tidore, Maitara hingga Guraping di Oba Utara, pulau Halmahera. Mereka semua adalah bagian penting dari “kejayaan” kita di masa lalu. Jaya, saat di mana, saling berbagi hasil tangkapan ikan dari tetangga adalah hal yang paling biasa. Makin ke sini, saat kesadaran dan keberpihakan yang makin kuat terhadap perlunya keterpenuhan zat yang bernama protein dan lain-lain dari komoditas ikan untuk pertumbuhan dan membentuk generasi unggul, ikan makin cepat dan jauh “larinya”, entah ke mana.