Di sebuah media, kala itu, saya sempat mengingatkan lembaga BAZDA bahwa anda hanyalah kepanjangan tangan atas niat para wajib zakat. Anda diberi hak menyampaikan kepada yang berhak menerimanya sesuai tuntutan agama, dan tidak berhak menentukan klasifikasi objek penerima sekehendak anda. Ini dulu yang harus kita jaga.

Dalam perkembangannya, terlihat mulai semrawut pengelolaannya dana-dana umat yang begini ini, padahal kita sadar dan tahu hukumnya. Dan jauh sebelum ada model terpusat begini, para ASN sudah terbiasa mengelola selisih 2,5 persen pendapatannya dari gaji ini, dititipkan di bendahara dan diambil ketika memasuki awal Ramadan. Catatannya, meski nominalnya terbilang kecil dan motifnya lebih bersifat konsumtif tetapi relatif tidak ada masalah apa-apa. Saat ketika pengelolaan sudah terpusat, skala dananya makin besar dan pengelolaannya dengan pertimbangan manajemen dan tata kelola yang lebih baik, serta orientasinya yang lebih strategis, tidak sekadar bagi-bagi uang kontan, mulai muncul gejala yang tidak baik.

Apa pesannya dari gejala-gejala begini?sederhana saja bagi saya, makin membesar nominalnya dan makin lama disimpan atau di”kuasai”. Dipicu dua asbab ini, potensi penyalahgunaan hingga berbuntut menuai malu berjamaah tadi makin besar. Hingga di sini, saya mengingat kisah masjid bersaldo nol yang viral itu. Mungkinkah ini salah satu pertimbangannya, entahlah. Banyak yang sering mengingatkan bahwa uang itu “iblis”, mungkin itu juga maknanya.

Saya berseloroh ke teman-teman di kampus, coba mahasiswa di IAIN misalnya, bisa meneliti gejala ini untuk jadi tulisan ilmiah berbentuk skripsi, misalnya. Mungkin ada variabel-variabel yang “tak terduga” yang jadi motivasi orang cenderung “mengelabui” sumber daya umat begini. Entah karena statusnya yang dianggap bebas “penyelidikan” atau ada hal-hal lain.

Ada mentalitas yang buruk yang lama-lama jadi kebiasaan bahkan bernilai “hukum”, pengelola bisa sekehendaknya mengatur-atur sumber daya umat berbentuk ZIS ini. Di sebuah masjid, yang sering saya kritisi, mulai “terbuka”, menyisihkan sedikit ZIS yang terkumpul untuk memberi sekadar bantuan biaya sekolah bagi anak-anak di lingkungannya, meski terkesan “malu-malu” karena mungkin baru menyadarinya, atau “terpaksa”, dari menyimpan saldo kas yang nyaris ratusan juta itu jadi “dana tidur” bertahun-tahun.

Kita tak bisa lagi memelihara mentalitas yang suka menggerogoti sumber daya umat yang bikin malu seantero jagat ini karena telah viral menjadi berita media. Kebiasaan “memarkir” dana ZIS di rekening pengelola yang bertahun-tahun, tanpa ada kebiasaan dan pola manajemen yang produktif, juga saatnya dievaluasi dan di pikiran cara-cara yang kreatif.

Belajar dari pengelolaan ZIS ASN tadi, cenderung menjadi masalah ketika ada kebijakan untuk mengatur pengelolaannya secara terpusat. Bahkan jika ada celah hukum menjadikannya sebagai objek yang bisa diselidiki menurut hukum positif kita, semua lembaga pengelola sumber daya umat berbentuk dana ZIS misalnya, di semua level, bisa dipantau untuk jadi perhatian kita semua, seperti halnya di berita media tadi.