Hingga di sini, kita pasti sepakat bahwa lembaga ini memiliki peran dan tugas yang sangat penting. Ini bukan lembaga “abal-abal” seperti yang banyak kita tahu dan “bermodal” proposal dukungan pendanaan sebagai “tugas pokoknya”. Risiko tugasnya bahkan pernah mencatatkan rekor penyelenggara yang wafat di pemilu lalu, yang berjumlah besar hingga sulit dinalar.
Tetapi bagi saya, ini menjadi aneh karena mempersoalkan nominal proposal hibah di media massa. Saking banyak judul berita media soal ini, membuat saya tak ingat semua, bermacam-macam. Yang saya ingat, ada wanti-wanti agar tetap berpedoman pada surat edaran kementerian yang berwewenang soal urusan ini. Surat edaran? Saya tak paham maksudnya tetapi hierarki dan tata urutan peraturan perundang-undangan di negara ini hasil revisi TAP MPRS nomor XX tahun 1966, kita mungkin paham. APBD di daerah pijakan yuridisnya adalah peraturan daerah. Sudah, itu bukan urusan saya juga yang bukan ahli hukum ini.
Poinnya, mengapa “curhat” di wilayah publik kalau regulasinya sudah jelas dan terang benderang? Kurang apa lagi? APBN kita juga telah memberi porsi anggaran untuk tugas yang maha penting ini. Taruhlah ada instrumen regulasi lain atau apalah, yang “membebani” APBD dengan proporsi tertentu, karena pertimbangan-pertimbangan tertentu pula, itu hal umum yang biasa terjadi dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan.
Kesan saling tarik seperti ngotot berbagi “harta warisan” tadi yang sedapatnya jangan terjadi. Toh, apa target opini dan dukungan yang bisa diraup di wilayah ini. Berhenti dan jangan bikin malu dengan hal-hal begini, merusak kredibilitas lembaga di mata publik.
Indikasi lain yang bikin lucu, ada celah regulasi yang belum tuntas. Minimal belum ada kesepahaman bersama. Konflik dan beda pendapat di level petinggi pemerintahan hingga DPRD tadi adalah jawabnya. Kita semua percaya, tak ada maksud untuk mengecilkan arti penyelenggara pemilu yang memiliki tugas maha penting dan menentukan ini, apalagi bermaksud agar lembaga ini melaksanakan tugas negara dengan “uang pribadi”, itu tak mungkin.
Yang harus dilakukan adalah memastikan “status ekonomis” dalam arti item-item apa saja dalam rencana kegiatan dan anggaran yang dibebankan pada pihak pemerintah daerah, misalnya. Juga “status hukum” sebagai akibat perbuatan hukum melaksanakan mekanisme hibah yang telah diatur. Tanpa kepastian, minimal hal-hal begini justru bikin lucu dan merendahkan martabat lembaga sekaligus bisa jadi pemicu kecurigaan publik karena mengambil keputusan dengan rumus “kesepakatan”, juga rentan hal-hal buruk.
Tinggalkan Balasan