Oleh: Nasarudin Amin
_______
HOAX, seperti hantu yang menghantui malam, selalu muncul dalam berbagai wujud dan kisah yang berbeda. Meskipun kita berusaha memberantas, hoax sepertinya memiliki semacam keabadian. Mereka hanya perlu bersembunyi sebentar sebelum kembali mewabah dengan jejaring yang lebih dahsyat. Itulah kesan saya ketika media arus utama dan media sosial ramai-ramai menyebarkan berita sensasional tentang seorang Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, yang diduga telah mencekik dan menampar seorang Wakil Menteri Pertanian, Harvick Hasnul Qolbi, dalam sebuah rapat di Istana Negara.
Isu ini pertama kali mencuat melalui akun YouTube Seword TV pada Minggu, tanggal 17 September 2023. Dalam video kontroversial tersebut, narator Seword, Alifurrahman Asyari, dengan tegas menyatakan bahwa ada seorang menteri aktif yang melancarkan serangan fisik terhadap seorang wakil menteri dalam rapat kabinet. Ia bahkan berani mengkonstruksi sebuah kebohongan dengan menceritakan bahwa konflik bermula ketika sang menteri merasa frustasi dengan kurangnya dukungan dari wakil menteri dalam menjalankan sebuah program. Ini adalah contoh nyata dari apa yang disebut sebagai “serangan hoax,” dan fenomena ini telah menjadi ancaman serius terhadap integritas pemilihan umum.
Serangan hoax semacam ini sering terjadi menjelang musim pemilu dan telah mengubah lanskap politik modern. Penyebaran berita palsu menjelang pemilu telah menjadi gejala yang semakin meresahkan dalam dinamika politik kita. Di era digital yang terus berkembang, pola ini tampaknya menjadi sesuatu yang bisa diperkirakan. Hoax selalu muncul dalam berbagai wujud, tetapi tujuan utamanya tetap sama, yaitu merusak citra dan elektabilitas calon pemimpin kita, termasuk mereka yang mencalonkan diri sebagai presiden, wakil presiden, anggota legislatif, atau kepala daerah.
Jika pemilu diibaratkan sebagai ladang, maka hoax adalah bibit yang disemai oleh oknum-oknum anonim yang tak bertanggung jawab dengan tujuan untuk menyesatkan pikiran publik. Hoaks akan menyebar luas di berbagai platform media, mulai dari media sosial hingga media massa yang diragukan kualitasnya, terutama menjelang “Pesta Demokrasi” yang dinanti-nantikan. Beredarnya hoax menjelang pemilu bukanlah hal yang baru. Seiring berjalannya waktu, kita menyaksikan pola yang konsisten. Hoax selalu digunakan sebagai senjata untuk menjatuhkan elektabilitas calon, termasuk calon presiden (capres), calon wakil presiden (cawapres), hingga calon anggota legislatif (caleg) dan calon kepala daerah.
Pada Pilpres 2014, dan terutama pada Pilpres 2019, kita menyaksikan bagaimana hoaks telah menjamur dan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kandidat tertentu. Kala itu, ketika Pilpres 2014 mendekati hari pencoblosan, hoaks ramai beredar di media sosial. Tujuannya sangat jelas, yaitu mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kandidat tertentu. Namun, dalam Pilpres 2019, hal ini menjadi semakin memprihatinkan. Bahkan, hoaks sudah mulai menyebar jauh sebelum hari pencoblosan. Sebuah contoh yang saya ingat adalah serangan black campaign terhadap Capres Prabowo Subianto pada saat itu. Ia diserang dengan berbagai isu, mulai dari isu pemberhentiannya dari anggota TNI, hingga berbagai cerita yang mengenai perceraiannya dengan Titiek Soeharto.
Sementara itu, kubu Capres Joko Widodo pada saat itu juga diserang oleh berbagai hoaks. Isu-isu mulai dari Jokowi yang disebut keturunan etnis Tionghoa hingga konspirasi yang menyebutkan bahwa Jokowi berkolusi dengan China untuk memenangkan Pilpres 2019. Tetapi di antara semua hoax tersebut, satu cerita yang benar-benar mencuri perhatian adalah hoaks tentang Ratna Sarumpaet. Saat itu, ia merupakan anggota tim kampanye Prabowo. Pada akhir tahun 2018, foto Ratna Sarumpaet dengan wajah lebam beredar disertai dengan narasi bahwa ia telah menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh kubu lawan. Ternyata, setelah diusut lebih lanjut, foto tersebut diambil setelah Ratna menjalani operasi plastik, bukan karena penganiayaan.
Tinggalkan Balasan