Oleh: Wahyudin Madjid
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Pancasila
_______
PADA 11 Agustus 2022 lalu, saya termasuk salah satu peserta yang mengikuti Diskusi Kelompok Terpumpun di Jakarta. Kegiatan yang dilaksanakan Bawaslu RI dengan menggandeng Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI) bertempat di Hotel 101 Urban Jakarta.
Dalam diskusi tersebut banyak persoalan yang menjadi sorotan serius adalah praktik politik uang dan politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), dan politik identitas, kampanye negatif, dan kampanye hitam yang menjadi tantangan serius bersama dalam pemilu 2024.
Persoalan di atas perlu mendapat tanggapan serius dari lembaga penyelenggara pemilu di Maluku Utara (Malut). Sebab Malut salah satu daerah yang ditetapkan status sebagai tiga besar daerah rawan pemilu 2024. Untuk daerah rawan pemilu, pertama DKI Jakarta, kedua Sulawesi Utara, dan ketiga Malut. Ini sebuah alarm bagi penyelenggara pemilu untuk lebih serius melakukan pengawasan.
Sebagaimana yang telah diamanahkan Undang-undang Bawaslu bahwa salah satu lembaga penyelenggara pemilu memiliki tiga fungsi, yakni pencegahan, pengawasan, dan penanganan pelanggaran serta penyelesaian sengketa. Tentunya Bawaslu sudah harus melakukan pemetaan awal terhadap potensi yang bisa menjadi hambatan dan tantangan pada Pemilu serentak 2024, terutama dalam penegakan hukum pemilu.
Dalam Pemilu 2019, dalam penanganan pelanggaran yang dilakukan oleh Bawaslu Maluku Utara pada Pemilu tahun 2019 yaitu terdapat adanya 131 pidana Pemilu, 45 pelanggaran netralitas ASN, 12 pelanggaran kode etik dan 22 pelanggaran administrasi Pemilu. Untuk Pemilu tahun 2024 sementara yang sedang ditangani yaitu terdapat 2 pelanggaran pidana pemilu, 4 pelanggaran kode etik dan 3 pelanggaran netralitas ASN, kata Anggota Bawaslu Malut Adrian Yoro Naleng (baca berita https:///malut.bawaslu pada tanggal 4 Mei 2023).
Tinggalkan Balasan