Kenapa patung Ir. Soekarno dan Sultan Zainal Abidin Syah yang menjadi saran saya?
Kita perhatikan misalnya, ada tiga hal yang selalu diceritakan ketika Provinsi Maluku Utara dilibatkan ke dalam percakapan nasional.

Pertama, kekayaan rempah-rempah yang mengundang para penjajah datang menghampiri negeri ini. Kedua, kehebatan para sultan-sultan (Moloku Kie Raha) di masa lalu yang begitu bijak dalam bersikap menghadapi para penjajah, biasaya diwakili oleh beberapa tokoh, seperti Sultan Babullah, Sultan Khairun, Sultan Nuku dan Banau. Ketiga, kedatangan Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno dengan agenda khusus untuk bertemu dengan Sultan Zainal Abidin Syah, membicarakan terkait sikap Kesultanan Tidore terhadap Indonesia.

Poin ketiga adalah poin yang paling sering dibicarakan, bahkan Rizal Ramli pernah membicarakan kisah tersebut di acara Indonesia Lawyers Club.

Kisah heroik yang sering diceritakan tersebut hanya berakhir dalam bentuk cerita, belum divisualisasikan untuk menjadi tempat yang bisa dikunjungi. Padahal, cerita tersebut merupakan memori kolektif orang-orang di Maluku Utara dan cerita yang menjadi penghubung antar lintas generasi. Visualisasi kisah tentang pertemuan antara Ir. Soekarno dan Sultan Zainal Abidin Syah dalam bentuk patung akan menjadi penanda baru untuk mengaktifkan kembali ingatan tentang kebudayan dan nasionalisme. Pesan-pesan kultural dan makna-makna sejarah bisa di desain dalam bentuk tanda dan simbol menggunakan pendekatan arsitektur modern.

Kenapa bukan poin nomor satu dan dua yang menjadi fokus saya? Rempah-rempah sudah cukup familiar menjadi identitas masyarakat Maluku Utara dan sudah banyak divisualisaikan melalui batik misalnya. Sedangkan kenapa bukan tokoh-tokoh kesultanan sebelumnya? karena Sultan Nuku sebagai Pahlawan Nasional dimakamkan di Tidore dan sampai saat ini makamnya masih ada dan sering diziarah, begitu juga dengan makam Sultan Babullah di Ternate dan itu sudah menjadi nilai wisata tersendiri. (*)