Ternyata ketiga dugaan saya sebelumnya salah total. Wanita pemarah tadi (menurut Kapita Hiri) sedang dirasuki mahluk halus akibat ritual Salaijin. Mereka tidak ingin diusik ketika sedang menari. Saat itu saya tidak memikirkan hal lain, kecuali bergumam dalam hati “sial, bang brewok yang sangar tadi ngerjain saya.”

Sebenarnya sedikit ada rasa kesal dan malu, tapi sudahlah, itu bagian dari risiko. Akhirnya karena sudah kepalang malu apa boleh buat, misi harus bisa diselesaikan. Tanggung kalau risikonya tidak diambil sekaligus. Sudahlah, saat itu saya putuskan untuk meneruskan proses dokumentasi, secara sembunyi-sembunyi pastinya.

Saya mulai merekam/memotret mereka di balik jeruji pagar, bunga-bunga halaman, bahkan di balik kerudung ibu-ibu. Maaf, tindakan yang terakhir itu benar-benar tidak disengaja. Pikiran saya saat itu hanya satu, yaitu objek penelitian baru. Ketika saya bisa menyelesaikan dokumentasi ritual, itu berarti akan banyak tanda tanya yang akan muncul. Hal yang sangat positif bukan?

Kembali ke objek pengamatan. Secara garis besar, 3 alunan lagu yang dimainkan (bisa saja sebelum saya datang sudah ada lagu lain), juga terdapat 3 beat irama musik yang dimainkan berbeda. Irama dan lagu pertama terkesan mendayu, kemudian dalam kurun waktu masing-masing sekitar 40 menit, lagu berubah dari tempo sedang menuju beat yang sangat cepat. Pada posisi inilah, para penari seolah menemukan klimaks dari tarian yang mereka lakukan. Mereka semakin terlihat melepaskan diri dari alam sekitanya, mencoba memasuki dimensi lain yang tidak bisa saya ejawantahkan. Saya hanya merasakannya lewat aura-aura sakral yang mengikuti tarian mereka. Dari ekspresi merekalah saya melihat ada rasa dimabuk cinta, ada semangat, ada pelepasan penat, ada kebebasan, ada juga kelegaan, dan ada semacam penyatuan diri dengan sesuatu yang di luar dirinya. Entahlah, saya benar-benar merasakan unsur-unsur itu saat mengamati gerak tubuh para penari, tatapan dan pejaman matanya, juga keringat bercucuran yang mengalir serentak bersama lagu yang dimainkan.

Fase ini tidak hanya melarutkan saya pada kedalaman rasa para penari, tetapi juga sebuah penemuan data atas nilai-nilai luhur sebuah kepercayaan. Keyakinan mereka atas apa yang mereka lakukan saat itu adalah bukti sebuah kesetiaan dan pengabdian. Meskipun pada dasarnya tujuan kesetiaan antara mereka dan saya tentu berbeda. Tetapi, tetap saja mereka berhasil membawa saya pada salah satu rongga kebutuhan jiwa yang cukup mirip untuk menikmati mahabbah-Nya.

Bagi saya, pengalaman ini cukup luar biasa. Mungkin saja bagi orang-orang yang telah berulangkali menyaksikannya telah tuntas mengupas apa yang saya alami. Namun, mungkin juga mereka berhasil menyaksikan seluruh ritualnya, tetapi sayangnya telah melewatkan hal-hal berharga di baliknya.