Sebelumnya, klaim beberapa ketua umum partai politik yang menyatakan ada aspirasi rakyat untuk menunda pemilu dibantah oleh sejumlah survei lapangan yang dilakukan nasional. Klaim Luhut kemudian juga dibantah sejumlah pakar big data, karena jumlah datanya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, dan setelah diteliti ulang, hasilnya lebih banyak yang menolak ketimbang menunda pemilu.

“Pernyataan Pak Luhut Panjaitan dengan dalih riset big data ini hanya akal-akalan saja. Ini adalah skenario lanjutan dari upaya melanggengkan kekuasaan, yang mengkhianati amanat Reformasi,” ucap Jovan yang pernah menjadi Komandan Batalyon Raider 323 Kostrad ini.

“Sebelumnya, skenario tiga periode gagal, demikian juga skenario perpanjangan jabatan gagal, sekarang dilanjutkan skenario tunda pemilu. Melihat wacana tunda pemilu ini pun kemungkinan besar akan gagal, skenario lain yang mungkin dilakukan adalah memaksakan amandemen UUD 45 dengan memanfaatkan kekuatan partai koalisi yang dominan di DPR RI maupun di MPR RI,” bebernya.

Alternatif lain, kata Jovan, adalah menggembosi KPU dengan tidak mencairkan anggaran Pemilu 2024, karena sampai sekarang pembahasan anggaran Pemilu masih deadlock.

Skenario paling akhir, bukan tidak mungkin, pemerintah nekat mengeluarkan Dekrit Presiden dengan berbagai alasan, seolah-olah kehendak rakyat berdasarkan survei abal-abal, alasan ekonomi yang belum pulih, alasan Covid-19 yang belum terkendali, dan bahkan alasan perang Rusia-Ukraina yang nun jauh di sana,” tuturnya.

“Dengan kata lain, ada indikasi penguasa akan melakukan segala macam cara untuk mencapai tujuan melanggengkan kekuasaan, tanpa peduli bahwa semua rencana ini merupakan permufakatan jahat untuk mengkhianati amanat Reformasi. Ada apa dengan pemerintah? Makin ke sini makin terasa benar apa yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di balik wacana perpanjangan kekuasaan yang terus digaungkan ini.”

Secara akal sehat dan hati nurani, Jovan menguraikan ada beberapa kemungkinan alasan tunda Pemilu. Pertama, pemerintah sudah dicekam ketakutan kehilangan kekuasaan (post power syndrome) bahkan sebelum kekuasaan berganti. Para pakar psikologi politik dan para sejarawan perlu juga berbicara tentang hal ini.

Kedua, kata Jovan lagi, pemerintah ketakutan rencana pemindahan Ibukota Negara (IKN) yang baru bakal gagal total, baik karena faktor ketidakpastian ekonomi serta kurangnya waktu.

“Baru saja kita membaca Softbank Group Corp membatalkan rencana investasinya bagi IKN, pada Jumat lalu. Sebelumnya pemerintah mengklaim Softbank berkomitmen berinvestasi antara 30-40 milliar dolar AS. Mundurnya Softbank ini tentunya bukan hanya soal uang, tapi juga merefleksikan ketidakyakinan investor akan proyek ini. Selain itu kita membaca pemerintah menaikkan porsi pembiayaan dari APBN hampir dua kali lipat, bahkan Menkeu sempat menjelaskan akan merealokasi sebagian dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bagi pembangunan IKN, walaupun kemudian dibantah Menko Perekonomian,” jelas Jovan.