Bupati, Tamin berujar, bisa membentuk perbup tersebut manakala pengadaan sapi kurban merupakan program bupati yang direalisasikan pada setiap momentum Idul Kurban. Sehingga perbup tersebut dibuat guna mengantisipasi kebijakan yang sama ke depannya.
“Tetapi kalau kita lihat dari sisi ilmu pembentukan produk hukum daerah, seruan pembentukan perbup untuk memecah persoalan pengadaan sapi pada hari raya Idul Adha tahun kemarin selain bertentangan dengan asas umum pembentukan produk hukum daerah, hal ini juga bertentangan dengan mekanisme pembentukan produk hukum daerah,” ujarnya.
“Oleh karena itu saya sarankan kepada pemda agar tidak usah membentuk perbup karena nanti hanya menambah masalah. Biarlah hal ini menjadi pembelajaran kita bersama dalam berpemerintahan saat ini. Kenapa saya harus mengatakan demikian? Sebab dalam pembentukan produk hukum daerah, perbup dan perda itu sifatnya sama yaitu bersifat pengaturan,” sambung Dosen Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Maluku Utara itu.
Kehadiran perbup dan perda dalam sebuah daerah otonom, mempunyai persyaratan yang harus diikuti dan ditaati. Pembentukan perda harus merujuk pada empat hal. Pertama, harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua, dalam rangka perencanaan pembangunan daerah. Ketiga, dalam rangka melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Keempat, berdasarkan pada aspirasi masyarakat dan kondisi daerah tertentu.
“Nah ini syarat pembentukan perda. Sementara pembentukan perbup lain lagi syaratnya. Pertama, untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua, melaksanakan peraturan daerah, dan ketiga adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan kepala daerah,” bebernya.
Jika merujuk pada tiga syarat pembentukan perbup, imbuhnya, maka tak ada celah untuk membenarkan pembentukan perbup pengadaan sapi kurban.
Tinggalkan Balasan