Kata “pengembangan” ilmu pengetahuan berkaitan dengan fakta dimana ilmu pengetahuan itu sendiri terus berkembang dan makin mengalami variasi dalam spesialisasi keahlian yang dimungkinkan oleh akumulasi berbagai penemuan dari bidang-bidang ilmu yang diasuh sebuah perguruan tinggi. Satu di antara cara lain yang memungkinkan akumulasi pengetahuan ilmiah tersebut nampak pada fenomena berbagai pendidikan tinggi seperti Institut dan Universitas yang mengonstruksi pola ilmiah pokoknya (PIP). PIP bukan hanya menyangkut ciri distinktif keilmuan sebuah perguruan tinggi, tetapi ekspresi hasrat (desire) dan keinginan (wants) pada penemuan dan penciptaan yang dihasilkan dari penelitian berbagai bidang ilmu yang diasuh, dijadikan informasi dan pengetahuan terbaru dalam pendidikan-pengajaran, dan praksisnya disalurkan melalui pengabdian kepada masyarakat untuk memperkaya kebudayaan, peradaban dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sebuah Institut, atau Universitas, tulis Wilcox, hanya dapat bekerja sebagai otak dari sebuah masyarakat, jika dan hanya jika ia berada di pusat  pengembangan baru dan penemuan. Jika tidak, ia hanya menjadi ruang hampa” (2006:240). Itulah sebabnya, perguruan tinggi dikenal sebagai salah satu pusat peradaban —selain masjid, kuil, gereja, keraton, dan pusat-pusat kreativitas lainnya.

Totalitas narasi norma yang dikutipkan di atas, secara jelas menegaskan tugas pokok seseorang yang mengenakan jubah “Rektor”, bersama para pembantunya dalam bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Rektor, karena itu, lebih dari sekadar jabatan birokrasi-administrasi pendidikan tinggi. Atau jika sebatas dan sekadar itu, maka sudah cukup pendidikan tinggi dipimpin seseorang yang terlatih mengatur alur surat menyurat, memaraf di bagian kiri atau kanan sebuah surat, memberi penanggalan hijriah dan masehi pada sebuah surat, menggunakan kata-kata yang tepat dalam menulis sebuah surat, menyimpan surat-surat  menurut klasifikasi berdasarkan jenis surat tertentu. Tak perlu seorang bergelar akademik Doktor. Bahkan tidak perlu seorang Menteri untuk menetapkannya.

Sayangnya, Institut yang seharusnya menjadi salah satu pusat peradaban di Maluku Utara ini justru bernasib involutif selama empat tahun terakhir. Ibarat sebuah kapal, sang nakhoda pemakai jubah Rektor mengemudikan kapal tanpa arah, tanpa kompas. Empat pembantunya yang seharusnya berguna dan berfungsi seperti “baling-baling kapal” yang berputar mengikuti arah tertentu, justru tampak seperti para penari dengan tariannya sendiri-sendiri. Bukan karena semata tak ada tujuan dan kompas pengarah pada tujuan, mereka juga bertindak seperti nakhoda itu sendiri, dengan tarian khasnya masing-masing. Mengingat kondisi ini, mereka berlima seharusnya tak lagi mengambil tanggungjawab dengan cara yang sama seperti empat tahun terakhir. Anda berlima telah mengambil tanggungjawab memimpin, dan anda buktikan empat tahun terakhir bahwa anda tidak bisa! Peraturan memang memungkinkan semua aktor untuk kembali ke panggung, tetapi peraturan juga menghendaki penggantian aktor di panggung yang sama. (*)