Pendidikan tinggi, demikian peraturan pemerintah R.I (PP RI) nomor 60 tahun 1999, diperlakukan sebagai kata kerja; “suatu kegiatan” menghasilkan manusia terdidik, anggota dari masyarakat dengan kemampuan akademik, profesional, dapat menerapkan, mengembangkan, menyebarluaskan, dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian dan kebudayaan nasional, serta penggunaannya diupayakan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. “Rektor” adalah jabatan tinggi Universitas dan Institut. Kewajibannya memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Termasuk membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administrasi serta hubungan dengan lingkungannya.
Meskipun tidak dikutipkan seluruhnya, tetapi kutipan norma di atas menunjukkan sukma pendidikan tinggi, termasuk Institut yang anda dan saya dapat bekerja di sana karena dipercaya oleh negara dan diberi nafkah hidup. Keseluruhan norma itu, termasuk kata “Rektor”, dibaca sebagai tanda-tanda linguistik, dimana totalitas narasinya “menyampaikan pesan” tentang “model dari dan bagi” realitas dunia yang hendak diwujudkan. Sebuah dunia dalam artian ruang dimana aktivitas keilmuan wujud berkelanjutan. Sebagai tanda-tanda (signs) linguistik, demikian tesis para ahli linguistik-instrumentalis, maknanya harus dipahami sepenuhnya dalam hal pemikiran yang diungkap melalui tanda-tanda itu (Gauker. 1987:p.47). Tanda-tanda (signs) tersebut, bagi Ferdinand de Saussure adalah “kata”, dan bagi Roman Jacobson adalah setiap “fonem” (Ahimsa-Putra,2006). Pemahaman mengenai makna keseluruhan narasi norma di atas, dengan demikian, dipahami melalui relasi-relasi internal antar fonem yang membentuk “kata”, dan di antara “kata-kata” yang membentuk “kalimat”, serta relasi di antara kalimat-kalimat.
Tinggalkan Balasan