Fakta pelenyapan kondisi kemajuan empat tahun sebelum empat tahun terakhir di atas, tepat dinamakan; “aborted progress”, kemajuan yang mengalami keguguran atau digugurkan oleh subyektivitas aktor-aktor pengambil keputusan (Ignas Kleden, “Keluar dari Jebakan Involusi”, Kompas.com,31/10/2014). Tetapi sivitas akademika institut nampak menerima dengan lapang hati kecenderungan vandalis ini (dalam arti luas dari kata itu), berlari di atas papan treadmill seolah tidak terganggu, atau tak menyadari fakta bahwa, pelenyapan kemajuan itu sebagai suatu penghinaan terhadap kecerdasan umum (Kleden, ibid) mereka sebagai sivitas akademika. Kebebasan mimbar akademik rupanya bukan ruang bermanfaat untuk mengajukan pertanyaan menggugat kepada “yang tak jelas berkata dan berlaku”. Ach, barangkali saja, sikap diam mereka adalah taktik “selemah-lemahnya iman”.
Kondisi empat tahun terakhir dapat disimpulkan; Institut ini hanya punya pimpinan birokrasi-administrasi. Tidak punya Rektor– dalam arti penuh kata ini. Kata “Rektor” memiliki muasal jauh ke belakang di Eropa tetapi masih dikenal dan digunakan saat ini, memang telah mengalami suksesi pengertian dan konteks penggunaan awal. Entah hal ini terjadi sejak kapan dan telah berapa lama. Digunakan di Eropa sejak abad ke 14 M, muasal kata “Rektor” dari kata regere, berarti “memerintah”. Tetapi kata ini juga sebuah nama untuk pemimpin agama di Eropa (Sudjoko, 2006:4-6). Pengertian dan nama untuk pimpinan agama ini memberi kata “Rektor” kekuatan memukau, memancarkan pesona religiusitas di hadapan penganut dan pendukungnya. Ketika Indonesia mengapropriasi sebagai nama pimpinan pendidikan tinggi (beberapa negara lain di dunia tidak gunakan kata ini), pengertian dan penggunaan awal, dan dimensi religiusitasnya, pada pandangan pertama, nampak terlucuti. Seolah sekadar urusan duniawi, yang profan. Ini nampak pada penggunaannya dalam norma yang mengatur pendidikan tinggi di Indonesia.
Tinggalkan Balasan