Kedua kalinya ditangani RSCB, Musakar akhirnya dioperasi.

“Awalnya saya tidak mau kaki anak saya diamputasi namun saya harus tanda tangan surat pernyataan, dan akhirnya kaki anak saya diamputasi,” ucap pria yang berprofesi sebagai petani ini.

Di usia remaja, Musakar harus rela kehilangan kaki kanannya. Selama 3 bulan usai operasi, kondisinya kian membaik. Harapan untuk sembuh muncul. Namun hanya sekejap harapan itu pupus lagi.

“Dia jatuh kedua kalinya ketika mau ke kamar mandi. Di situlah kakinya bertambah parah,” kenang Kabir getir.

Semenjak Musakar jatuh sakit, Kabir yang telah menikah lagi rutin berkeliling mencari obat. Hanya dalam waktu setahun lebih benjolan di tubuh Musakar membesar berkali-kali lipat.

Sampai saat ini, sudah 6 kali mereka harus bolak-balik rumah sakit tanpa ada tindakan operasi lagi.

Kabir bahkan sengaja menyewa kamar kos di Marabose seharga Rp 300 ribu per bulan agar dekat dengan rumah sakit. Sebelumnya keduanya tinggal di Desa Papaloang, Kecamatan Bacan Selatan.

“Dokter menganjurkan untuk ikut kemoterapi sementara kondisi Musakar semakin parah dan tumornya semakin membesar,” terang Kabir.

Kondisi finansial jadi salah satu pertimbangan Musakar tak bisa diobati dengan maksimal.

“Setelah ibunya meninggal, saya dan Musakar ini hidup di Desa Papaloang bersama ibu tirinya. Tapi saat ini ibu tirinya sedang berada di Sorong, jadi kami hanya hidup berdua,” kata Kabir.

Sejauh ini tidak ada pula bantuan dari pemerintah daerah untuk pengobatan Musakar. Kabir hanya bisa berharap ada kemudahan dan keajaiban yang menyembuhkan anaknya.

“Selama satu tahun lebih ini saya hanya fokus mengurus anak saya dan bolak-balik mencari obat. Saya tidak bisa lagi kerja lain karena kami hanya hidup berdua sehingga tidak ada yang mengurus Musakar. Setiap hari dia merasa sakit dan saya hanya menemani dia,” ucapnya dengan nada sedih.