Dilanjutkan Dr. Filep yang juga Anggota DPD dari Papua Barat, kita tidak bisa menyangkal dan berdalil apapun saat bicara tentang sejarah Papua-Tidore. Sebab sudah terlalu banyak referensi dari antropolog yang menulis neorologis, agama, bahkan sebelum Otto masuk ke Papua untuk menyebarkan injil, dan itu melalui Kesultanan Tidore.
“Bahwa perang dengan tentara Portugis dan sudah ada dari aspek-aspek tersebut. Saya ingin menyampaikan, adanya hubungan kultur. Memang Papua sampai saat ini, hampir kita pastikan negara posisi dalam tanda petik. Karena negara sudah bingung untuk menyelesaikan Papua. Dengan konsep apapun, teori apapun, sampai saat ini dia sudah bingung,” jelasnya.
Hal itu diungkap dari hasil penelitian, baik dari LIPI maupun lembaga LSM lainnya, bahkan dari Pansus Papua sudah menyodorkan semua riset ke semua lembaga-lembaga nonformal lainnya. Karena, pemerintah tidak tahu dia menggunakan konsep mana untuk menyelesaikan masalah Papua. Sebab Papua mempunyai faksi yang banyak, maupun kelompok. Maka dari itu, kami tidak tahu kelompok mana yang kita hadapi.
“Saya katakan, kalau pemerintah pusat mendesain Papua dengan pendekatan militer, itu sudah biasa. Katanya, dahulu Sultan menugerahkan kepada Papua untuk datang di Tidore untuk mengusir penjajah di Tidore. Kalau perang-perang, kita ini jago. Dan pula kita juga dikenal dengan perang yang tangguh di laut, dan kemudian Sultan pakai untuk melawan Portugis, dan digelari Kapita Gurabessy,” papar Filep.
Lanut Filep, apabila negara dijadikan sebagai salah satu pendekatan apapun, tetapi sampai kapanpun Papua tidak pernah tenang. Tentu negara harus hadir. Maka itu, tipologi di Papua harus dibangun secara tipologi pula. Sebab sebelum ada negara, ada kultur dan adat lebih dahulu hadir. Untuk itu, negara harus mengakui dulu. Papua dan kita semua nyatakan sikap masuk ke dalam NKRI, tidak kosong di tangan kita.
“Bahwa kami masuk ke dalam NKRI, tidak kosong, dan tidak membawa harta dan kekayaan alam kami. Ketika ibu pertiwi masuk, seluruh, tanah, dan kekayaan alam lainnya, untuk negara berikan kepada kami dalam membangun kesejahteraan. Tetapi sejak dari tahun 1961 sampai saat ini, sesuai dengan data statistik, Papua mempunyai kekayaan yang berlimpah, tetapi Provinsi masih termiskin di seluruh Indonesia,” tukasnya.
Bahkan baju saja, satu kali, pakai dalam perayaan Natal. Berarti tingkat kesejahteraan masih dikatakan minim, padahal, ada lirik lagu yang mengatakan surga kecil yang jatuh ke bumi. Tapi dibilang mandi di atas minyak, dan tidur di atas emas.
Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah basudara dan keluarga besar Papua, mari kita lihat inilah mendasar sehingga Papua menuntut hak.
“Kami adalah bagian dari KNRI, tetapi NKRI juga bisa memperhatikan kita. Keadilan, tentu kita harus bersyukur. Bahwa sejauh ini Pemerintah sudah memperhatikan Papua. Tapi dari hubungan kultural inilah, pemimpin harus menciptakan kedamaian. Maka dari Kesultanan Tidore, kita menemukan kedamaian dari Papua.”
Di kesempatan yang sama, Rektor Unkhair Ternate Prof. Dr. Husen Alting, SH. MH dalam pemaparannya mengatakan, memang arah pendekatan Papua ke depan sudah harus diubah. Karena hampir 20 tahun dengan Otonomi Khusus dengan pendekatan militer, tapi ternyata tidak berubah, begitupun dengan pendekatan ekonomi.
“Sebab kurang lebih Rp 126 triliun sudah dikucurkan kepada masyarakat Papua, ternyata masyarakat Papua belum sejahtera. Dengan itu, dari pendekatan kultural, sangat penting. Dari FGD ini, bisa dari pendekatan sejarah dan kultural harus diutamakan. Kehadiran DPD, perlu ada tekanan lebih kuat lagi kepada pemerintah agar walaupun sudah disampaikan oleh Filep, bahwa sudah berbagai kajian yang dilakukan lembagai maupun LSM, ternyata pemerintah tidak melihat pendekatan-pendekatan riset yang sudah dilakukan,” jelas Filep.
Dari itu, ada ketertarikan dengan lima agenda, atau teori yang dikemukakan oleh Hujariningrat, bahwa pendekatan Papua harus dengan pendekatan dialog. Tetapi diletakkan pada lima situasi, dimana mempertahankan identitas kultural, karena identitas orang Papua tidak bisa diubah dengan konteks dialog.
“Itu adalah salah satu syarat yang dilakukan, dan kemudian meletakkan posisi politik, yang berbeda-beda itu sebagai satu hal yang wajar. Identitas politik itu lantas menjadikan sesuatu yang berbeda. Maka dari itu, harus membangun ruang gerak kutural orang Papua untuk mengakomodir suara kelompok-kelompok termarjinal,” ucapnya.
Dalam hematannya, sudah banyak kita saksikan bersama tentang hasil riset-riset yang sudah memberikan rekomendasi. Tinggal kemudian pemerintah pusat mau membuat itu atau tidak. Pemerintah harus mewujudkan keberagaman perspektif kultural untuk dibangun.
Olehnya itu, di waktu kepemimpinan SBY, ada program Aprimasi Papua. Dengan mengirimkan mahasiswa, baik di pesisir maupun ada di pedalaman untuk belajar di seluruh universitas yang ada di Indonesia.
“Dan saya di angkatan pertama menjadi Rektor, ada 35 orang baik dari pegunungan dan pesisir. Dan ketika mereka ada di Ternate, mereka tidak punya apa-apa, sehingga 35 orang itu saya tampung di rumah saya kurang lebih 6 bulan karena menunggu biaya hidup. Papua tidak kita bicara tentang pendekatan ekonomi,” ungkapnya.
Dilanjutkan Dr. Herman Oesman, memulai dengan mengutip pendapat Ernest Renan yang mengatakan makna substansi sebuah negeri dibangun dengan tekad hidup bersama dan bahagia. Tentu sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Bung Hatta dalam sidang BUPKI.
“Saya ingin membangun, mendirikan sebuah negara, dimana semua orang merasa hidup bahagia di dalamnya.”
Oleh karena itu, maka kalau kita membaca salinan sejarah Tidore dan Papua, dengan rentang waktu yang panjang, kita akan menemukan beberapa riak-riak, baik soal konflik.
“Bahwa dalam pendekatakan kultural adalah salah satu yang penting. Ada ungkapan bahasa, sama seperti jou suba. Tentang Jou Barakati. Terkait dengan Jou Barakati, bukan saja dikenal di Tidore, tetapi juga di Papua, dan itu diistilahkan dengan koreri (suatu masa depan yang bahagia), sedangkan Jou Barakati adalah kekuatan yang menjadi nanet, bahwa dia akan menyelesaikan seluruh persoalan,” pungkasnya.
Arnold Toynbee telah meneliti dua pulau yang jatuh bangun. Ternyata dia menemukan empat lapisan dari itu, yakni lapisan sains teknologi, estetika, etnis/etik, dan spiritualitas. Sebagus apapun sains dan teknologi di suatu negara, tanpa ada lapisan spiritual maka dia akan tumbang. Tetapi jika spiritualitas tidak diikuti dengan sains dan teknologi, maka dia akan ketinggalan.
Maka itu, Papua dan Tidore memiliki dimensi spiritual yang sangat kuat. Ada dalam perjalanan di Tidore, dikenal dengan “Dama Nyili-nyili, dan ada tiga Dama Nyili-nyili. Dama atau Seba-seba, yaitu wilayah yang dekat dengan Kesultanan Tidore, Nyili Lofo-lofo (sedikit jauh, tetapi dekat), dan ada nyili Gulu-gulu (wilayah yang jauh).
Namun, dalam kultural Tidore adalah satu integrasi, dan inilah model NKRI yang dibangun oleh Sultan Nuku. Karena dia usia-usia Sultan Nuku, ketika dia memimpin kerajaan ini, ada tiga kewajiban yang tidak pernah lepas, yakni dia mengunjungi wilayah yang dia kuasai pada tiga tahap. Pertama, di masa Maulid Nabi, Puasa menjelang Idul Fitri, dan ketiga Muharam.
“Tiga kewajiban ini menjadi penting kalau dipakai. Maka ini adalah soal merawat modal sosial. Untuk itu, maka modal sosial tetap harus diikat. Dan Papua harus diikat dengan ikatan moral. Tentunya, harus menambahkan sikap belas kasih, ketika orang melihat Papua harus dengan pandangan-pandangan dengan belas kasih. Kesediaan hidup bersama dengan yang lain, dan ini sudah dibuktikan dengan Kesultanan Tidore, Nuku, bahkan saudara-saudara yang berada di Papua. Ketiga, mengembangkan ruang hidup, bagi tumbuhnya kemajemukan,” harapnya.

Sementara Jou Sultan H. Husain Sjah mengatakan, dari sisi kultural dan dari bahasa Tidore, bukan hanya didekatkan dengan pendekatan-pendekatan militer, bahkan ada pendekatan yang dipakai para Sultan di masa lalu.
“Bahwa orang Tidore bilang, cing se cingari (baku jaga dan baku hargai), rasa se rasai (berangkat dengan hati dan kasih sayang), relasi itu terus dijaga, mahe se kalfino (rasa takut dan malu),” terangnya.
Misalnya di Tidore, ada peraturan Kie Se Kolano, jadi hukum itu diberlakukan paling utama bagi seorang Sultan. Bahwa Sultan pertama yang menjalankan seluruh kewajiban, sebelum rakyat menjalankan kewajiban. Kalau rakyat, Sultan harus memberikan hak-haknya, sebelum rakyat itu menjalankan kewajiban.
“Kalau kita lihat sekarang, orang bekerja dulu baru kasih gaji. Jadi ini harus kita bolak-balik cara berpikir dan bertindak kita. Dari sisi dimensi sosial yang sangat kuat dari tanah ini. Dan kalau dahulu, dalam Triapolitica, jauh sebelumnya Triaspolitica yang dibuat oleh Montesquieu. Konon, sebagian sejarawan mengatakan Montesquieu mangadopsi dari Sultan Saifuddin,” ucap Sultan.
Olehnya itu, berbicara tentang Sultan Saifuddin, ada empat yang disebutkan dalam Triapolitica, yaitu ada Yudikatif, Eksekutif, Legislatif.
“Kalau Eksekutif, berhubungan dengan rumpun-rumpun dan harus berdiri sendiri. Seharusnya tentara dan polisi di dalam pemerintahan Sultan Saifuddin atau disebut Jou Kota, dia melakukan pembaharuan yang luar biasa. Misalnya, polisi dia tidak berada dalam satu rumpun dengan eksekutif. Dia berdiri sendir. Dia pula juga tidak ke yudikatif, tetapi menjaga netralisir bagaiamana kewenangan yang dipercayakan kepada tentaranya,” tutupnya.
Sebelum meninggalkan Kadato Kesultnan Tidore, Jou Sultan Tidore, H. Husain Alting Sjah memberikan plakat serta kain tenun Puta Dino Kayangan kepada Wakil Ketua DPD RI, Nono Sampono, M.Si, Matheus Stefi Pasimanjeku, Namto Roba, Ahmad Nawardi, Habib Ali Alwi, Dr. Filep Wamafwa, Memberob Y. Rumakiek, Stefanus B.A.N Liow, Arniza Nilawati, dan Hilda Manafe.(*)
Tinggalkan Balasan