Oleh: Mansyur Armain

 

HARI itu tidak mendung. Matahari tetap memancarkan sinarnya. Tepat tanggal 18 November 2020 rombongan senator dari DPD RI tiba di Kadato Kesultanan Tidore pukul 10.15 WIT. Suasana Kadato seperti biasa dalam keadaan ramai, saat mendengar ada orang-orang dari Dewan Perwakilan Daerah datang.

Ketika tiba di halaman Kadato Kesultanan Tidore, para senator diantaranya Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono, Matheus Stefi Pasimanjeku, Namto Hui Roba, Ahmad Nawardi, Habib Ali Alwi, Dr. Filep Wamafwa, Memberob Y. Rumakiek, Stafanus B.A.N Liow, Arniza Nilawati, dan Hilda Manfe disambut dengan tarian kapita.

Tarian kapita ini dikhususkan untuk menyambut para tamu-tamu penting yang datang dari luar Maluku Utara. Biasanya penari terdiri dari 7 orang, berpakaian serba putih, ikat kepala merah, dan memegang parang dan salawaku.

Sementara di atas Kadato Kesultanan Tidore, Sultan Tidore H. Husain Alting Sjah berserta para Bobato dan imam sudah siap menunggu tetamu untuk gelaran FGD.

Kalau dilihat di ruang depan Kadato Kesultanan Tidore disiapkan empat tempat duduk. Di depan, terkhusus narasumber yakni Jou Sultan Tidore H. Husain Alting Sjah, Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Dr. Filep Wamafwa, Prof. Dr. Husen Alting, dan Dr. Herman Oesman.

Di sebelah kiri, terdiri dari Jojau Kadato Kesultan Tidore beserta Bobato. Di kanan, terdiri dari imam Masjid Kesultanan Tidore maupun Forkopimda dan mahasiswa, Komunitas Fola Literasi Kalaodi, pemuda, dan masyarakat Tidore.  Sedangkan di depan narasumber ada para anggota DPD RI yang turut menyaksikan jalannya FGD.

Pelaksanaan FGD itu bertujuan membahas rekontruksi hubungan sejarah dan budaya Tidore-Papua yang bertempat Kadato Kesultanan Tidore. FGD ini mengangkat tema “Rekontruksi Hubungan Sejarah dan Budaya Tidore-Papua untuk Memperkuat Ketahanan Nasional dalam Bingkai Kesatuan Republik Indonesia”.

FGD tersebut juga disiarkan melalui YouTube dan bisa disaksikan masyarakat Tidore maupun Maluku Utara.

Dalam kesempatan itu, Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono ketika menyampaikan materinya mengatakan, Indonesia saat ini masih terus berproses dengan sejarah. Dimana ada masa kejayaan dan masa suram yang dikembalikan lagi ke generasi yang melakukan proses sejarah itu.

Menurut Nono, kita saat ini memiliki tugas dan kewajiban sejarah. Sebab apa-apa yang sudah diberikan oleh orang tetua kita dahulu adalah warisan yang tak ternilai dan berharga buat kita.

“Tugas kita adalah merawatnya, memperkokoh, dan mempekuat dari segala aspek, dan kemudian kita berbuat lebih baik, sampai saat kita menyerahkan kepada generasi berikutnya,” kata Nono.

Nono bilang, NKRI yang kita cintai dari Sabang sampai Merauke memiliki potensi yang luar biasa. Secara demografi lebih dari 270 juta jiwa, yang didalamnya 740 lebih suku bangsa, dan bahasa 1.400, serta sumber daya alam maupun letak geografis dan posisi strategis yang diperebutkan oleh dunia.

Lanjutnya, lahirnya Negara Indonesia dikarenakan ada kesepakatan politik. Makanya, Indonesia berbeda di masa lalu, misalnya Kerajaan Siriwijaya dan Majapahit yang dipersatukan Nusantara, tentu lebih diutamakan kekuatan fisik.

“Tetapi Indonesia tidak. Indonesia dilahirkan dengan kesepakatan kesadaran untuk menyatu. Itu bedanya lahirnya negara bangsa Indonesia yang sebelumnya. Saya ingin mengatakan, bagaimana manusia-manusia yang terlahir di Indonesia,” tuturnya.

Dalam catatan sejarah, ada tiga migrasi kelompok manusia yang menciptakan suku-suku bangsa yang ada di Nusantara. Dari Utara datang dari Mongol, turun ke bawah melahirkan suku besar, namanya Javanis yang mendiami Jawa, Bali dan sekitarnya. Dari arah barat melahirkan bangsa Melayu, dan dari arah timur adalah Melanesia, melahirkan juga kelompok Alifuru.

“Mendiami Pulau Papua, baik Maluku, Maluku Utara, NTT, dan sebagian dari Sulawesi. Seluruh suku bangsa yang ada di Nusantara ini, akibat dari migrasi besar Arab. Kita di sini dikatakan kelompok Alifuru memang suku besar,” tuturnya.

Dari kejayaan masa lalu, mulai terbentuk oleh bangsa yang berada di Nusantara, mulai dari kecil hingga menyatu menjadi lebih besar. Contoh, Sriwijaya menguasai kepulauan yang sekarang Indonesia, plus sampai Indocina sampai ke madagaskar dan hampir 800 tahun usianya.

“Negara ini berproses, dan kita berkewajiban, apakah kita bernasib seperti Sriwijaya dan Majapahit. Kalau kita melihat sejarah mahkluk di dunia ini, seekor binatang yang namanya dinasaurus, besar, perkasa dan luar bisa, dan punah sebab tidak sanggup berproses, tidak sanggup beradaptasi, dan tidak sanggup merawat dirinya dan selesai,” ungkap Nono.