Masa Pengasingan

Pada tahun 1920, Belanda mulai menyebar mencari orang-orang yang dianggap merugikan pasukan kolonial. Salah satunya adalah Ismail Digoel.

Semua daerah di Indonesia disisir untuk upaya pencarian. Untuk mencari Ismail, Belanda mengirim tentara ke Maluku dan Maluku Utara.

Namun pencarian di Ternate pun tak membuahkan hasil. Belanda akhirnya melacak hingga ke Kepulauan Sula. Mereka berlayar dengan kapal putih yang tak bisa bersandar ke dermaga saking besarnya. Tentara Belanda lalu menggunakan sekoci untuk berlabuh ke dermaga.

Pencarian di Sanana, Kepulauan Sula, dilakukan dengan menyisir pesisir. Satu per satu orang yang ditemui ditunjukkan foto Ismail Digoel.

Sampai akhirnya para tentara bertemu seorang nelayan yang tengah menjala ikan. Si nelayan mengenali wajah Ismail dan mengantarkan mereka ke rumah Ismail di Desa Mangon. Dipikirnya Ismail akan dijemput untuk tugas kenegaraan atau mendapat penghargaan tertentu.

SK Pensiun milik Ismail Sahjuan Sangadi alias Ismail Digoel. (Tandaseru/Samsur)

Begitu tentara Belanda mengetuk pintu rumahnya, Ismail sendiri yang membuka pintu. Ia hanya mengenakan singlet dan sarung. Tentara lalu memastikan pria gondrong berperawakan tinggi di hadapan mereka adalah lelaki yang sama dengan di foto.

Setelah menemukan Ismail, tentara Belanda tak langsung puas. Mereka menanyakan keberadaan ayahnya, Sahjuan Sangadji.

Setelah mendapatkan alamat Sahjuan di Desa Malbufa, Kecamatan Sanana Utara, Belanda bergerak menjemputnya. Sahjuan dan Ismail lalu digiring menuju pelabuhan Sanana. Keduanya lantas dibawa dengan sekoci ke kapal putih yang berlayar ke Boven Digoel, tepatnya di Digoel Atas.

Digoel yang terpencil merupakan lokasi pengasingan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan. Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir juga diasingkan di kamp konsentrasi Digoel. Di sana, Ismail dan ayahnya bergabung dengan ribuan tahanan lainnya.

Ismail menjalani pengasingan selama 5 tahun sebelum tentara Belanda menjemput istri dan anak-anaknya di Sula untuk dibawa ke Digoel. Selama itu pula, Belanda terus mendapat serangan dari gerilyawan Indonesia.

Selain Ramlah Pauwah dan ketiga anak mereka -Sarnawia Sangadji, Umar Sangadji dan Fatma Sangadji, Belanda juga menjemput saudara perempuan Ismail, Umi Sangadji. Di Digoel, Ismail dan Ramlah dikaruniai anak keempat, Pelda Muhammad Kamal Sangadji pada 12 Agustus 1932.

SK Pensiun milik Ramlah Pauwah, istri Ismail Digoel. (Tandaseru/Samsur)

Ismail menjalani pengasingan selama 15 tahun. Pada tahun 1936, Ismail beserta keluarga baru dikeluarkan dari pengasingan dan menuju Kota Jakarta. Selama di Jakarta, Ismail sempat ditawari menjadi Menteri Dalam Negeri Negara Indonesia Timur. Ia menolak dan lebih memilih kembali ke Kepulauan Sula.

Kini, perjuangan Ismail menjadi kisah heroisme Kepulauan Sula. Oleh negara, ia diberi SK Pensiun yang memungkinkannya mendapat sedikit rupiah. SK Nomor Pol.191/61/PK itu ditandatangani oleh Kepala Kantor Kas Negara, Kantor Pos Pembantu, Abdul Raini, di Ternate pada 11 Oktober 1961 sebagai bukti pengambilan uang pensiun.

Dalam SK pensiun tersebut, gaji pokok pensiun Ismail Digoel dihargai sebesar Rp 50 ribu per bulan. Pada tahun 1980 nominal gaji pokok pensiun perintis kemerdekaan ini naik menjadi Rp 67.500. Nominal gaji pensiun Ismail kemudian dinaikkan pada tahun 1981 hingga 1982 senilai Rp75 ribu.

Pada 29 Agustus 1982, Ismail Digoel meninggal dunia dan dimakamkan di Kabupaten Kepulauan Sula. Semenjak September 1982, gaji pensiun Ismail disetop.

Pemerintah lantas menerbitkan SK baru atas nama istrinya, Ramlah Pauwah. SK yang diterbitkan Menteri Sosial itu tertanggal 14 Agustus 1983 dengan Nomor Pol.37/VIII/1983/PK/JD yang ditandatangani Menteri Kas Negara melalui Kepala Kantor Pos Pembantu, Drs. Margasim Yabacthian di Ternate 21 Juli 1984. Dalam SK Pensiun tersebut, gaji pensiun atas nama Ramlah Pauwah dihargai sebesar Rp 30 ribu.

Ramlah menerima gaji melanjutkan hak suaminya sejak September 1982 sampai Juli 1984 dan dibayar senilai Rp 852 ribu. Kemudian pada Agustus 1984 sampai bulan Maret 1985 gaji pokok pensiun Ramlah dinaikkan menjadi Rp 52 ribu. April 1985 sampai Juni 1986, gaji pensiun istri perintis kemerdekaan ini naik menjadi Rp 90 ribu. Tunjangan pensiun itu kini tinggal kenangan setelah Ramlah meninggal dunia pada 1986.