Tandaseru – Peraturan Wali Kota Tidore Kepulauan Nomor 19 Tahun 2020 tentang Pembukaan Akses Keluar Masuk Tikep dengan Penerapan Protokol Kesehatan mendapat sorotan Korps Alumni HMI (KAHMI) Kota Tikep. KAHMI menilai, penerbitan Perwali ini belum disertai kajian yang valid.

“Bagi kami perlu ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan Edaran Wali Kota sebelumnya,” ungkap Wakil Sekretaris Umum KAHMI Tikep, Abdullah Jumati kepada tandaseru.com, Kamis (11/6).

Menurut Abdullah, lahirnya kebijakan baru ini seharusnya sinkron dengan Surat Edaran Wali Kota Nomor 440/371/01/2020 tentang Pembatasan Akses Keluar Masuk Tikep. Dimana dalam poin 7 diberi pengecualian pembatasan terhadap pengangkut sembako, obat-obatan, BBM, perbankan dan jasa keuangan, serta pemerintahan strategis dan keamanan.

“Bahkan di poin 11 terdapat bantuan bagi pelaku usaha angkutan laut, angkutan darat, pedagang kecil, keluarga terdampak Covid-19, masyarakat berpenghasilan rendah serta siswa dan mahasiswa yang menimba ilmu di luar daerah,” tutur Abdullah.

Abdullah bilang, jika tujuan pembukaan akses keluar masuk Tikep karena alasan kesehatan, seharusnya dikaji secara matang.

“Apakah sudah ada kajian epidemiologi pasca beberapa kasus yang terjadi, termasuk memastikan Tidore tidak terjadi transmisi lokal penyebaran Covid-19 atau statistik kasus di Tidore telah melandai? Adakah jaminan kesehatan bagi masyarakat jika akses keluar masuk Tidore dibuka? Dan seandainya kebijakan ini adalah menyambut new normal yang diterapkan oleh Pemerintah Pusat, kira-kira Kota Tidore Kepulauan dalam urusan kebencanaan berada di fase yang mana? Pencegahan, penanganan atau pemulihan,” jabarnya.

Jika pembukaan akses karena alasan ekonomi, sambung Abdullah, apakah pernah ada kajian terkait dampak ekonomi setelah akses keluar masuk Tidore ditutup selama 2 pekan.

“Dari amatan kami, setelah akses keluar masuk Pulau Tidore ditutup selama dua minggu aktivitas ekonomi khususnya di pusat-pusat perdagangan yaitu pasar, toko dan lain-lain berjalan seperti biasa. Begitu juga distribusi sembako, BBM dan lain-lain, berjalan normal. Itu artinya Edaran sebelumnya telah hampir meminimalsir semua dampak tersebut,” katanya.

Abdullah menegaskan, 14 poin rekomendasi Panitia Khusus DPRD Tikep pada 26 Mei 2020 telah memberi proyeksi yang baik terkait penanganan penyebaran Covid-19 di Tikep hingga tanggal 24 Juni akan datang.

“Seharusnya rekomendasi DPRD itu perlu menjadi acuan bagi Pemda dalam mengambil kebijakan. Karena rekomendasi itu cukup terangkum dengan baik. Baik dari aspek Kesehatan, ekonomi dan social safety net jika Pemerintah Daerah konsisten melakasanakannya,” terangnya.

Abdullah mengaku, jika Perwali 19/2020 ini berlaku bagi seluruh angkutan laut yang berasal dari Tidore akan menimbulkan multitafsir.

“Misalkan trayek Sofifi-Ternate apakah harus mematuhi? Lalu bagaimana dengan trayek Ternate-Sofifi yang armada angkutannya milik orang Ternate atau Kabupaten/Kota lain? Setidaknya telah menimbulkan multitafsir. Penting bagi Pemerintah Daerah konsisten dan terukur dalam mengelurakan kebijakan agar tak menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat,” ujarnya.

Dia menambahkan, seharusnya Pemkot mengambil kebijakan merujuk pada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 440/2622/SJ tentang Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Daerah.

“Dimana dalam Edaran itu disebutkan bahwa dalam perumusan kebijakan penanganan dampak penularan Covid-19 Pemerintah Daerah harus melakukan analisa yang matang dan mendalam dan berdasarkan evidence-based, menyiagakan sumber daya dan faslilitas kesehatan, melakukan refocusing kegiatan, realokasi anggaran dan melakukan sosialisasi social distancing dan self-quarantine. Selain itu perlunya akselarasi Perwali Nomor 19 Tahun 2020 dengan Permenhub Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Covid-19 soal pembatasan jumlah penumpang maksimal 50 persen kapasitas angkutan umum, darat, sungai dan laut pada pasal 11, 12, 13 dan 14. Perlu juga memperhatikan peraturan tentang akses keluar masuk pada kabupaten/kota lain serta Provinsi,” tegasnya.

Abdullah berharap, peraturan Pemerintah yang dibuat bisa melindungi hak masyarakat tertentu dan tidak mengabaikan masyarakat yang lain.

“Kita semestinya bisa membaca skema pencegahan penyebaran Covid-19 dari Tim Gugus Tugas Kota Tidore Kepulauan dengan tahapan yang jelas. Misalnya setelah lock sterile selama 14 hari dan atas hasil kaji cepat tim ahli maka seluruh aktivitas di Tidore dibuka secara bertahap yaitu mulai dari aktivitas pemerintahan, keagamaan dan ekonomi. Yang mendesak saat ini adalah pemindahan Posko Covid-19 yang berada di Kantor Wali kota Tidore yang merupakan pusat aktivitas Pemda Kota Tidore Kepulauan, evaluasi kinerja tim Covid-19 sejak pembentukannya hingga saat ini, memastikan kajian epidemiologi, ekonomi dan sosial serta mengevaluasi dan menyiasati kembali anggaran Covid-19 dalam periode penanganan ke depan jika kurva statistik pnyebaran belum melandai,” pungkasnya.