Tandaseru — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GP Ansor Kota Ternate, Maluku Utara, menyoroti dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Halmahera Timur terhadap terdakwa 11 warga adat Maba Sangaji dalam sidang virtual yang digelar Pengadilan Negeri Soasio, Rabu, 6 Agustus 2025.
Dalam dakwaan tersebut, JPU Komang Noprizal Saputra menjerat para terdakwa dengan pasal-pasal berlapis, antara lain Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang senjata tajam, Pasal 39 angka 2 UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta Pasal 368 KUHP tentang pemerasan terhadap empat orang terdakwa.
Ketua LBH Ansor Kota Ternate, Zulfikran A. Bailussy, S.H., mengatakan, dakwaan ini adalah bentuk nyata dari kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan hak atas tanah, identitas budaya, dan keberlangsungan hidup di tengah ancaman ekspansi tambang yang destruktif.
“Alih-alih melindungi hak-hak konstitusional masyarakat adat, negara justru hadir sebagai alat represi. Kami menilai pasal-pasal yang dikenakan JPU mencerminkan upaya sistematis untuk membungkam perjuangan sah warga yang mempertahankan tanah adat mereka,” tegas Zulfikran melalui press release, Kamis (7/8).
LBH Ansor, lanjut dia, menilai bahwa penggunaan Undang-Undang Darurat tentang senjata tajam terhadap masyarakat adat adalah tindakan tidak proporsional dan mengabaikan konteks budaya serta realitas sosial warga. Alat-alat yang dibawa oleh warga—seperti parang dan tombak—adalah bagian dari peralatan hidup sehari-hari masyarakat adat, bukan senjata kriminal.
Lebih lanjut, tuduhan pemerasan terhadap sebagian warga juga dianggap menciptakan narasi kriminal yang mengaburkan substansi perjuangan mereka. Dalam banyak kesaksian, warga tidak pernah memaksa perusahaan atau meminta kompensasi dalam bentuk pemerasan, melainkan menolak kehadiran tambang secara utuh karena dianggap merusak tanah warisan leluhur.
“Perjuangan ini bukan soal uang atau negosiasi harga tanah. Ini soal hak hidup, kelangsungan budaya, dan kedaulatan atas wilayah adat. Tuduhan yang dibangun dalam dakwaan JPU justru menghapus konteks ketidakadilan struktural yang selama ini dihadapi oleh masyarakat adat,” tegasnya.
LBH Ansor juga menyayangkan jalannya persidangan yang dialihkan secara sepihak ke Rutan Soasio dan dilakukan secara virtual, tanpa partisipasi publik yang memadai. Hal ini mengindikasikan upaya membatasi ruang pengawasan terhadap proses peradilan.
Ia menegaskan, LBH Ansor Kota Ternate mendukung langkah kuasa hukum para terdakwa untuk mengajukan eksepsi terhadap sebagian dakwaan, serta mendesak agar proses hukum selanjutnya benar-benar menggali substansi perjuangan warga, bukan semata mengikuti logika hukum positif yang kering dari rasa keadilan.
Adapun poin-poin desakan dari LBH Ansor Ternate:
1. Kejaksaan Tinggi Maluku Utara untuk mengevaluasi substansi dakwaan dan mempertimbangkan penghentian proses penuntutan melalui asas keadilan restoratif;
2. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Soasio agar objektif dan progresif dalam menilai konteks sosial dan adat, bukan hanya semata unsur formil pasal pidana;
3. Pemerintah dan aparat keamanan agar menghentikan pola represif terhadap masyarakat adat dan segera melakukan dialog yang bermartabat, adil, dan setara.
LBH Ansor Kota Ternate, tambah dia, akan terus melakukan pemantauan dan intervensi hukum atas kasus ini, sebagai bagian dari komitmen dalam membela hak masyarakat marginal, adat, dan pembela lingkungan yang seringkali dijadikan korban dari kepentingan korporasi tambang.
Tinggalkan Balasan