Tandaseru — Rekam medis adalah bagian tidak terpisahkan dari hak atas informasi yang merupakan elemen penting Hak Asasi Manusia (HAM) pasien serta komponen penting penegakkan hukum di pengadilan. Hal ini diungkapkan advokat dan pakar hukum kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Dr. Hasrul Buamona, S.H.,M.H.

Hasrul memaparkan, hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 276 huruf e UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berbunyi “pasien mempunyai hak mendapatkan akses terhadap informasi yang terdapat di dalam rekam medis”.

“Selain itu, Pasal 296 UU Kesehatan mengatur bahwa setiap tenaga medis wajib membuat rekam medis dan selanjutnya rekam medis tersebut bersifat rahasia dan menjadi tanggung jawab fasilitas pelayanan kesehatan bisa rumah sakit, klinik kesehatan, dan puskesmas. Kemudian UU Kesehatan mengatribusikan ketentuan lebih lanjut terkait rekam medis dengan peraturan pemerintah. Akan tetapi, sejauh ini peraturan pemerintah dimaksud belum mengatur secara mendetail posisi rekam medis sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia,” terangnya, Selasa (29/7/2025).

Pada medio Juli 2025, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Komisi III DPR RI membahas RUU KUHAP sebagai estafet penerapan asas legalitas dan due process of law dari KUHP yang telah disahkan terlebih dahulu pada tahun 2023. Akan tetapi, dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), dalam spektrum hukum kesehatan, menurut Hasrul, sebagai pemerintah dan Komisi III mengabaikan dan tidak merasa penting untuk mengatur rekam medis sebagai alat bukti medis dalam kasus malpraktik didalam RUU KUHAP.

“Padahal melihat perkembangan rumah sakit swasta yang sangat meningkat di era globalisasi dengan munculnya China sebagai kekuatan ekonomi baru dunia, berdampak pada kapitalisasi rumah sakit, tentu akan meningkat pula kasus pidana malpraktik dokter,” ujarnya.

Sejauh ini, rekam medis dalam kedudukan sebagai alat bukti dalam persidangan hanya diatur dalam Permenkes Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis.

“Kerangka dasar pembuktian atau alat-alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia, menggunakan teori negatife wettelijk bewisjtheorie dan adagium in criminalibus probationes debent esse luce clariores, yang menyatakan bahwa pembuktian harus didasarkan pada ketentuan undang-undang dan dasar keyakinan hakim, yang dimaksud ketentuan berdasarkan undang-undang adalah terpenuhi sekurang-kurangnya adanya dua alat bukti yang sah atau alat bukti yang ditentukan undang-undang,yang mendukung dakwaan,” papar Hasrul.

Menjadi persoalan hari ini dalam lapangan hukum kesehatan, sambungnya, kedudukan rekam medis dalam fungsi sebagai alat bukti seringkali dikesampingkan oleh penegak hukum lainnya misalnya polisi, jaksa dan hakim. Hal ini disebabkan, rekam medis dalam fungsi sebagai alat bukti hanya diatur melalui peraturan teknis yang dibuat oleh Menteri Kesehatan yakni Permenkes Nomor 269/MENKES/PER/III/2008.

“Menurut saya, sangat penting hari ini rekam medis sebagai alat bukti harus didorong untuk diatur dalam produk hukum undang-undang yakni RUU KUHAP. Hal ini dikarenakan alat bukti adalah elemen dasar dan penting dalam memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana seseorang,” terang Chairman Law Firm Shahifah Buamona ini.

Hasrul menyebutkan, dalam rekam medis terdapat elemen sebagai alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat. Maka secara mutatis mutandis ini merupakan bagian dari hukum pidana formil yang tujuannya menegakkan hukum pidana materil.

“Telah diketahui bahwa alat-alat bukti menjadi dasar pembuktian untuk memberikan sanksi pidana terhadap dokter. Artinya ketika rekam medis diatur secara eksplisit dalam RUU KUHAP sebagai alat bukti, maka menjadi dasar pemenuhan unsur dalam pemidanaan. Selanjutnya hal ini inheren dengan gagasan membentuk peradilan profesi medis di bawah kekuasaan Mahkamah Agung yang telah saya ajukan dalam sidang Mahkamah Konstitusi Nomor nomor perkara 21/PUU-XXI/2023 dan jurnal akreditasi yang berjudul Membangun Peradilan Profesi Medis di Bawah Kekuasaan Kehakiman,” tandasnya.

Ika Fuji Rahayu
Editor
Ika Fuji Rahayu
Reporter