Oleh: Riswan Wadi, S.Sos

Aktivis Sosial

________

DALAM perjalanan sejarah manusia, ada satu tindakan yang tampak sederhana namun menyimpan daya ledak peradaban: menulis. Ia tidak hanya sekadar menuangkan kata-kata di atas kertas atau layar digital, melainkan juga sebuah upaya manusia untuk menantang waktu. Kita hidup dalam dunia yang fana tubuh menua, teknologi usang, bahkan kenangan perlahan memudar. Tapi tulisan? Ia memiliki peluang langka untuk menyeberang generasi. Di sinilah ide “menulis untuk keabadian” menemukan relevansinya.

Menulis, pada hakikatnya, adalah cara manusia berbicara kepada masa depan. Ketika seseorang menulis, ia tidak sedang berbicara pada zamannya saja, tetapi juga pada mereka yang mungkin belum lahir. Inilah yang membedakan tulisan dari bentuk komunikasi lain. Lisan bisa hilang, disalah pahami, atau lenyap bersama waktu. Tapi tulisan dengan segala ketelitiannya, dengan segala kekayaan lapisan makna yang dimilikinya bisa bertahan jauh lebih lama dari usia penulisnya sendiri.

Namun pertanyaannya: mungkinkah kita benar-benar menulis untuk keabadian?

Secara fisik, tentu tidak ada tulisan yang benar-benar abadi. Batu bisa hancur, kertas bisa terbakar, dan data digital bisa terhapus. Tapi keabadian dalam konteks tulisan tidak bergantung pada medianya, melainkan pada daya hidup ide di dalamnya. Sebuah catatan harian sederhana bisa menjadi warisan pemikiran berharga jika ia memuat refleksi mendalam tentang zaman, kemanusiaan, atau nilai-nilai universal. Contohnya, surat-surat Kartini. Ia tidak menulis buku besar. Ia hanya menulis surat kepada sahabatnya, berbicara tentang keresahan, ketidakadilan, dan harapan terhadap bangsanya. Tetapi justru karena kejujurannya, karena keberaniannya untuk berpikir di luar kerangkeng zaman, surat-surat itu kini hidup jauh melampaui usia penulisnya.

Baca Juga:HATTA

Menulis untuk keabadian bukan berarti harus menjadi sastrawan besar, filsuf ternama, atau pemilik gaya bahasa berlapis metafora. Keabadian dalam menulis lebih banyak ditentukan oleh ketulusan dan kedalaman gagasan. Tulisan yang abadi lahir bukan dari ambisi, melainkan dari integritas intelektual dan kegelisahan eksistensial. Ia ditulis bukan untuk menyenangkan pembaca hari ini, melainkan untuk berdialog dengan pembaca masa depan yang mungkin menghadapi krisis serupa.

Ironisnya, kita hidup di zaman yang justru menghargai yang sebaliknya. Kita hidup di tengah kebisingan algoritma, tempat tulisan-tulisan pendek, cepat, sensasional, dan dangkal mendapat tempat lebih besar dari tulisan reflektif dan mendalam. Banyak penulis masa kini yang lebih fokus pada klik, engagement, dan impresi ketimbang pada makna. Maka, menulis untuk keabadian di zaman ini bukan hanya sulit, tetapi juga melawan arus.

Namun justru di situlah letak pentingnya. Menulis untuk keabadian adalah bentuk perlawanan. Ia menuntut ketekunan, kesabaran, dan keberanian untuk tidak tunduk pada selera pasar sesaat. Ia bukan hanya tindakan kreatif, tetapi juga tindakan etis. Menulis dengan kesadaran bahwa apa yang kita tulis hari ini bisa berdampak pada cara orang berpikir besok itulah bentuk tanggung jawab intelektual yang seharusnya menyertai setiap kata yang kita susun.

Sebagian orang mungkin bertanya: apa gunanya menulis jika belum tentu ada yang membaca, apalagi mengingat? Tapi mungkin kita tidak pernah tahu. Banyak tulisan penting baru menemukan pembacanya puluhan, bahkan ratusan tahun setelah ditulis. Ide-ide yang sempat dianggap tak relevan di masa lalu, sering kali menemukan momentumnya di masa depan. Dalam sejarah pemikiran, keterlambatan adalah hal yang biasa.

Menulis untuk keabadian bukanlah tentang memastikan tulisan kita abadi, tetapi tentang menulis seolah-olah ia bisa abadi. Ini tentang menanam sesuatu yang bisa tumbuh jauh setelah kita tiada. Bahkan jika tulisan itu hanya menyentuh satu orang di masa depan dan mengubah caranya melihat dunia bukankah itu sudah cukup?

Dan akhirnya, mungkin ini tentang bagaimana kita ingin dikenang. Bukan dalam bentuk patung atau nama jalan, tetapi dalam bentuk gagasan yang terus bergema. Dalam bentuk kalimat yang tidak hanya dibaca, tetapi direnungkan. Dan ketika itu terjadi, bahkan setelah tubuh kita lenyap dari dunia, kita masih tetap berbicara lewat tulisan yang kita tinggalkan.

Tulisan ini saya akhiri dengan kalimat, yang indah dan penuh dengan makna, yaitu Keabadian dalam menulis bukanlah janji yang bisa ditepati, melainkan kemungkinan yang bisa diperjuangkan. Ia bukan warisan yang pasti, tetapi warisan yang mungkin dan kemungkinan itulah yang membuat tindakan menulis tetap relevan, mendalam, dan pada akhirnya, bermakna. (*)