Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore

________

Simak detailnya program pangan berkelanjutan dari Presiden Prabowo. Jangan hanya memuji kekayaan Andi Syamsuddin Arsyad, yang akrab dikenal Haji Isam, pengusaha kaya yang memborong ribuan alat berat escavator dan sempat viral itu. Kenapa tindakan membeli alat berat seolah seperti membeli kacang goreng di kios tetangga itu, hingga dilakukan. Tak cuma senang melihat kulitnya tanpa paham substansinya. Semua itu bukan mimpi kemarin sore yang dieksekusi jadi kebijakan.”

SEMALAM di WAG, ada undangan dari Majelis Wilayah KAHMI Maluku Utara untuk kegiatan silarurahmi dengan Wakil Menteri Transmigrasi RI, Viva Yoga Mauladi, di Kahmi Center, Ternate. Kebetulan sang wamen ini merepresentasi Majelis Nasional KAHMI. Dan karena alasan tertentu, rombongan saya dan teman-teman dari Tidore yang berencana menghadirinya, tiba-tiba batal.

Pagi tadi, saya membaca berita media cetak Malut Post, headline-nya, DOB Sofifi di Tangan Tikep. Pernyataan sekretaris daerah provinsi Maluku Utara dalam berita ini juga mengonfirmasi bahwa hingga saat ini belum ada usulan. Tentu maksudnya usulan dari pemerintah provinsi Maluku Utara. Di sampingnya ada judul lain, Wamen Bawa Rp35 M Untuk Transmigrasi Malut, yang saya kutip sebagai judul tulisan pendek ini.

Ketika mengunggah foto halaman depan media tadi ke sebuah WAG, ada tanggapan terkait dua berita itu. Komentar pemerintah provinsi Maluku Utara, yang diwakili sekretaris daerah, tentu punya nilai “sensasi” lain. Itu disebabkan di pekan-pekan ini, pro-kontra perdebatan soal DOB Sofifi lagi jadi isu ramai di mana-mana, di daerah ini. Terbaca di berbagai media cetak. Ramai tarik ulur berbagai pernyataan pihak yang merasa paling berkepentingan, unjuk rasa di kantor pemerintahan dan DPRD tak terhindarkan, hingga komentar dukungan dari Ketua DPRD Provinsi Maluku Utara.

Pernyataan sekretaris daerah tadi bisa dimaknai sebagai closing statement, pernyataan terakhir menyudahi perdebatan. Juga dikomentari seorang teman dengan analog sebagai “memadamkan api”. Maksudnya mirip pemadam kebakaran, mematikan potensi kebakaran sebelum terlanjur berkembang, meluas dan tak terkendali.

Perdebatan soal DOB Sofifi ini ibarat lagu lama yang diputar ulang. Alhasil, hanya mengulang-ulang saja. Dan makin lama, makin terlihat bahwa variabel terkaitnya makin bertambah dan membuat makin jadi runyam. Banyak faktor yang berkelindan, saling berkait dan kian menjauh dari filosofi yang jadi mimpi DOB, kesejateraan dan kemakmuran. Juga termasuk janji politik pada kontestasi pemilihan kepala daerah, misalnya.

Ada beberapa pandangan yang menyeruak di perdebatan soal mendesak atau belum DOB Sofifi itu. Salah satunya, pemerintah provinsi Maluku Utara diminta menyiapkan dulu infrastruktur pendukungnya, sebelum siap untuk mekar. Di sisi lain, Sofifi sebagai sebuah kelurahan, masuk dalam wilayah kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan. Potensi tarikan kewenangan dan tanggung jawab, makin terlihat buram. Beberapa contoh kasus insidentil yang pernah terjadi, mengonfirmasi hal ini. Dan jujur, saya tak terlalu tertarik mendebatkan lagu lama ini.

Pindah ke judul sebelah, wamen bawa Rp 35 miliar tadi. Ketika ada yang menyoal ketimpangan distribusi nominalnya antar beberapa kabupaten dan kota di WAG tadi, saya berkomentar bahwa pemerintah pusat juga punya data untuk mengukur komitmen para kepala daerah. Bikin irigasi, misalnya, itu bikin sumber makanan warga kita. Sengaja membelokkan filosofinya dengan motivasi-motivasi tertentu, sama artinya sengaja menahan lajunya, menghambat sampainya makanan ke mulut warga. Hal-hal begini harusnya di mengerti dan disadari.

Banyak dari kita yang masih berpikiran waras dan belum sakit ingatan, betapa banyak juga program dan kegiatan-kegiatan ketransmigrasian di daerah yang tak benar-benar mulus hingga jadi kasus hukum.

Karib saya, yang kebetulan sedang punya aktifitas tertentu di sekitar wilayah transmigrasi di sebuah daerah, tak bisa menyembunyikan keprihatinannya saat bertutur tentang fakta minor begini, sembari berharap aparat hukum terkait bisa memantaunya.

Urusan ketersediaan pangan dari lumbungnya di wilayah transmigrasi itu, bukan urusan sepele. Ini adalah urusan global karena variabel daya dukung alam, akibat perubahan iklim. Fakta anomali cuaca mestinya cukup memberikan warning bahwa urusan ketersediaan pangan kita, sedang menjadi isu global yang tak main-main. Jangan “bercanda” dengan program ketransmigrasian. Mestinya para kepala daerah dan pemangku kepentingan itu membaca, selami dan mengerti benar indikator SDGs (Sustainable Development Goals). Ini ukuran atau tolok ukur yang digunakan untuk memantau dan mengevaluasi kemajuan dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang terdiri dari 17 tujuan yang mencakup berbagai aspek pembangunan berkelanjutan, seperti pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender, dan lingkungan hidup, dan lain-lain. Dengan menggunakan indikator SDGs, negara-negara dan organisasi dapat memantau kemajuan dan meningkatkan akuntabilitas dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan.

Ketika menjadi keynote speech dalam Outlook Agriculture KAHMI 2025 yang berlangsung secara luring di KAHMI Center, Jakarta, dan daring yang diikuti peserta dari berbagai daerah di Indonesia [30/1/25], bertema Swasembada Pangan Dalam Rangka Kemandirian Ekonomi Menuju Indonesia Maju, sang wamen ini mengungkap, sedang mendorong masyarakat bersama dengan pemerintah untuk berjuang, tak hanya sukses mewujudkan swasembada pangan, namun dalam beberapa tahun ke depan bangsa ini menjadi lumbung pangan dunia, meski sejumlah tantangan dihadapi. Tantangan itu seperti stagnasi produksi pangan. Padi turun sekitar 1,1 persen pada 2019-2023, rendahnya produktifitas lahan budidaya ikan 0,6 ton/ha/tahun. Juga, tingginya ketergantungan pada impor. Catatan pada 2023 menunjukan beras sebanyak 3,1 juta ton; daging sapi 52,3 persen; susu 78,6 persen, garam 2,8 juta ton. Hal lain, masih adanya daerah rawan pangan. Sekitar 16 persen kabupaten/kota mengalami masalah ini. Soal lahan, alih fungsi lahan yang massif terutama di Pulau Jawa. Sekitar 80 Ribu ha pada tahun 2019-2024. Ada variabel, penurunan kualitas atau degradasi lahan. 89,5 persen lahan tidak sustainable. Tantangan lain, tak adanya regenerasi petani (aging farmer). Sekitar 70 persen petani dan nelayan berusia di atas 43 tahun. Menurutnya, meski demikian bila tantangan itu dikelola dengan baik, bisa menjadi potensi baru dengan memanfaatkan lahan yang masih luas di Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua.

Simak detailnya program pangan berkelanjutan dari Presiden Prabowo. Jangan hanya memuji kekayaan Andi Syamsuddin Arsyad, yang akrab dikenal Haji Isam, pengusaha kaya yang memborong ribuan alat berat ekskavator, dan sempat viral itu. Kenapa tindakan membeli alat berat seolah seperti membeli kacang goreng di kios tetangga itu, hingga dilakukan. Tak cuma senang melihat kulitnya tanpa paham substansinya. Semua itu bukan mimpi kemarin sore yang dieksekusi jadi kebijakan.

Berharap, anomali cuaca hingga hujan dengan intensitas tertentu yang berakibat banjir, longsor, gagal panen sejumlah komoditas pertanian bulanan, dan lain-lain, di beberapa waktu terakhir di Maluku Utara, makin menyadarkan kita, juga para kepala daerah, untuk tak bisa lagi “bermain-main” dengan kebijakan daerahnya yang serampangan dan tanpa arah. Wallahua’lam. (*)