Oleh: Fahmi Djaguna
Dekan FKIP UNIPAS Morotai
________
KETIKA fajar menyingsing pada tanggal 5 September 1944, dentuman meriam dari kapal-kapal perang Sekutu mengguncang garis pantai Morotai. Deru peluru menyapu Desa Pandanga hingga Tanjung Dehegila, mengawali sebuah babak penting dalam sejarah Perang Pasifik sekaligus membuka lembaran strategis bagi perjuangan bangsa Indonesia. Dalam pusaran konflik global inilah, Morotai menjelma dari pulau sunyi di timur Nusantara menjadi pangkalan militer terbesar kedua Sekutu setelah Hawaii. Di sinilah pula, tokoh pejuang asal Morotai, Hi. Achmad Syukur, menorehkan kiprah mulia dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Morotai menjadi pusat logistik dan persiapan serangan ke Filipina. Panglima besar Sekutu, Jenderal Douglas MacArthur, turut mendarat dan mengatur strategi untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang diduduki Jepang. Namun, yang tidak banyak dikenal dalam sejarah besar dunia itu adalah suara dan gerak orang-orang lokal yang menyambut momen proklamasi kemerdekaan Indonesia di tengah kepungan kekuatan asing. Di antara mereka, nama Haji Achmad Syukur muncul sebagai cahaya kecil yang menembus kegelapan penjajahan.
Saat bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945, dunia gemetar. Kekalahan Jepang pun menjadi awal dari hadirnya sebuah peluang bagi bangsa Indonesia untuk menyuarakan haknya atas kemerdekaan. Proklamasi 17 Agustus 1945 berkumandang dari Jakarta, dan meski Morotai masih dalam cengkeraman kekuatan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Belanda) semangat merdeka tak tertahan untuk menjalar ke pelosok. Di tengah situasi penuh tekanan itulah, Haji Achmad Syukur menjadi penyambung suara Proklamasi di tanah Morotai.
Sebagai seorang yang fasih berbahasa Inggris, Haji Achmad Syukur tidak hanya memahami isi proklamasi, tetapi juga menyebarluaskannya secara efektif melalui pamflet-pamflet berbahasa Inggris. Haji Achmad Syukur menempelkan pengumuman itu di kendaraan militer dan bahkan pada badan pesawat militer di Morotai. Sebagaimana ditulis oleh sejarawan Melalatoa (1995:47) dalam Riwayat dan Perjuangan Tokoh Daerah Timur Indonesia, “Haji Achmad Syukur merupakan satu dari sedikit tokoh yang dengan keberanian, kecerdasan, dan penguasaan bahasa, mampu menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke telinga para tentara asing yang bercokol di daerah-daerah konflik.”
Syukur tidak berhenti pada sebatas selebaran. Haji Achmad Syukur menggantung bendera merah putih di tempat-tempat strategis dan mengajak rakyat untuk menggemakan pekik kemerdekaan: “Sekali Merdeka, Tetap Merdeka” yang juga ia terjemahkan sebagai “Once Free, Always Free”. Kalimat ini bukan sekadar teriakan heroik, tetapi pernyataan sikap dan penegasan martabat sebagai bangsa yang tidak mau lagi dijajah. Haji Achmad Syukur berdiri, bukan hanya sebagai warga Morotai, tetapi sebagai duta kemerdekaan Indonesia di tengah pangkalan militer asing.
Dalam Bung Tomo dan Revolusi Rakyat 1945 (Sartono Kartodirdjo, 2001), disebutkan bahwa keberhasilan revolusi tidak hanya bergantung pada Jakarta dan kota-kota besar, tetapi juga pada daerah-daerah yang menghimpun kekuatan kultural dan moral untuk mendukung kemerdekaan. Haji Achmad Syukur adalah representasi dari kekuatan tersebut, sosok lokal dengan semangat nasional.
Ketika Belanda mencoba kembali menjajah Indonesia dengan menumpang kekuatan Sekutu, Morotai pun kembali berada dalam risiko. Namun, masyarakat telah menyerap semangat proklamasi. Perlawanan-perlawanan kecil bermula dari pengorganisasian rakyat, penyebaran informasi, hingga kesadaran kolektif bahwa bangsa ini telah memiliki identitas dan kehendak sendiri. Haji Achmad Syukur memainkan peran penting sebagai penghubung antara berita kemerdekaan dan kesadaran kolektif rakyat Morotai.
Bukan hanya keberanian yang membuat Haji Achmad Syukur patut dikenang, melainkan juga kejernihan visinya. Haji Achmad Syukur adalah cermin dari semangat lokal yang mendunia. Beliau menunjukkan bahwa perjuangan tidak harus datang dari pusat kekuasaan, tetapi bisa tumbuh dari desa pesisir. Sebagaimana dikutip dalam Jejak Proklamasi di Timur Indonesia oleh R. Zakaria (2013:132), “Perjuangan kemerdekaan di wilayah timur tak bisa dilepaskan dari suara-suara sunyi yang tak pernah masuk arsip militer, tapi menggema dalam sanubari rakyat, dan salah satunya adalah suara Haji Achmad Syukur.”
Kini, ketika kita berjalan di tepi Army Dock Pandanga atau menatap luasnya langit Daruba, semestinya kita mengingat bahwa tanah ini bukan sekadar lokasi strategis perang, melainkan juga saksi keberanian seorang anak bangsa yang menyuarakan kemerdekaan dalam keheningan sejarah. Haji Achmad Syukur adalah mutiara Morotai dalam narasi besar Indonesia. Haji Achmad Syukur membuktikan bahwa keberanian, kecintaan pada tanah air, dan kemauan untuk bersuara adalah bentuk tertinggi dari perjuangan.
Oleh karena itu, di tengah geliat pembangunan Pulau Morotai hari ini, kita tak boleh melupakan jasa besar; Haji Achmad Syukur. Dan mengingatkan jasa beliau buka sekedar penghormatan simbolik dengan memberikan nama jalan antara Daruba Pantai dan Gotalamo, serta menjadi nama dari sebuah sekolah, MIS Hi. Achmad Syukur. Namun lebih dari itu, ini adalah pengakuan kolektif masyarakat atas jasa seorang putra Morotai yang telah mendedikasikan hidupnya dalam perjuangan bangsa dan tanah kelahirannya. Karena Haji Achmad Syukur adalah sosok yang hidup pada masa-masa genting republik ini mencari bentuknya di tengah pergolakan antara kekuatan kolonial, pendudukan militer asing, dan semangat kemerdekaan yang membara.
Hari ini, jejak-jejak perjuangan beliau harus dikembalikan ke tempatnya yang layak. Kita mendorong dan meminta kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Pulau Morotai besar harapan bahwa nama Haji Achmad Syukur tidak hanya dikenang dalam nama jalan atau sekolah, tetapi juga diabadikan dalam sejarah bangsa sebagai Pahlawan Nasional. Upaya ini bukanlah semata-mata glorifikasi masa lalu, melainkan pengakuan atas realitas sejarah yang selama ini termarjinalkan.
Banyak tokoh lokal dari daerah-daerah terdepan seperti Morotai yang tidak tertulis dalam buku-buku sejarah nasional, padahal kontribusinya nyata dan mendalam. Mengangkat Haji Achmad Syukur ke panggung nasional berarti menghadirkan representasi keadilan sejarah bagi wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) yang selama ini menjadi penyangga kedaulatan bangsa.
Semoga dengan semangat ini, generasi muda Morotai dan bangsa Indonesia secara umum tidak hanya mengenang Haji Achmad Syukur sebagai nama jalan, tetapi juga menjadikannya inspirasi perjuangan yang abadi. Dan semoga, dalam waktu yang tak lama, kita menyaksikan pengukuhan nama beliau di antara deretan pahlawan nasional (jika kita berjuang bersama), sebagai bukti bahwa sejarah bangsa ini dibangun dari peluh semua anak negerinya, termasuk dari ujung utara yang bernama Morotai. (*)
Tinggalkan Balasan