Oleh: Anwar Husen
Tinggal di Tidore
_________
“Di momentum World Ocean Conference (WOC) 2009, konferensi kelautan internasional yang membawa Sulawesi Utara menjadi tujuan MICE (Meeting, Incentive, Conference, and Exhibition) ini, saya sempat menginap selama 2 hari, tetapi di 3 hotel yang berbeda. Ini sudah mujur, bisa dapat kelas hotel “tak berbintang”. Entah apa pengalaman yang dialami calon penghuni lainnya. Ini bisa terjadi gara-gara nyaris semua hotel di Kota Manado fullbooked dalam beberapa hari itu. Dan seperti apa dampak ekonomi umumnya bagi Kota Manado khususnya dan Sulawesi Utara, bisa dibayangkan sendiri. Itu baru untuk satu event saja.”
Beberapa hari lalu, saya membaca berita media MalutNetwork.com [8/7/]. Judulnya, Wawali Tidore Beri Sinyal Rombak Total Pejabat Eselon ll, Akhir Agustus Ujikom Digelar: Kali Ini Lebih Menarik.
Ada beberapa hal yang bisa disarikan dari pernyataan Wakil wali Kota Tidore Kepulauan ini, dari berita media tadi. Akan ada evaluasi setelah 6 bulan dilantik. Dan time limit 6 bulan itu pada 20 Agustus 2025. Artinya, di 42 hari ke depan. Juga, akan ada penilaian kinerja secara langsung oleh kepala daerah. Kriteria umumnya, bisa menjabarkan visi-misi paket ini. Yang bisa akan dipakai. Juga ada penilaian bahwa ada beberapa pimpinan OPD dinilai belum mampu menjabarkan visi-misi mereka. Ini potongan pernyataan wakil walikota dari berita itu, “Makanya pada penilaian kinerja nanti, saya dan pak wali akan panggil satu persatu untuk bertanya. Kira-kira mereka bisa menafsirkan dan mengimplementasikan visi misi aman dan nyaman sesuai dengan tupoksi OPD itu seperti apa“. Kurang lebih itu poin-poinnya.
Saya sendiri belum pernah membaca seperti apa detail visi-misi paket ini. Tetapi yang terbaca di media, Aman, Nyaman dan Ramah untuk Semua. Tak jelas itu akronim atau bukan. Yang pasti kita butuh makan yang cukup dulu karena cukup pangan dan variabel harga yang terjangkau.
Bagi saya, dalam beberapa konteks, pernyataan di atas dipandang “cukup berani” dan penuh percaya diri. Betapa pimpinan OPD yang memulai dan telah meniti karirnya berpuluh tahun, mengikuti diklat penjenjangan berbulan-bulan, mengikuti diklat teknis bermacam-macam, bahkan bisa dibilang ini menu harian para ASN di berbagai periode kepala daerah, toh masih saja dipandang belum mampu menerjemahkan visi-misi kepala daerah. Hebat sekali ini. Sehebat apa visi-misinya, saya dibuat jadi penasaran untuk mengecek detailnya. Beberapa karib ASN terkait yang dihubungi belum memberi gambarannya hingga tulisan ini deadline. Berikutnya, dari aspek timing menjaga ritme, motivasi dan eksplorasi semangat, kreatifitas dan inisiatif di dalam bekerja, waktu 42 hari adalah ruang yang cukup dan signifikan korelasinya dengan produktifitas. Ruang ini mestinya dibiarkan tereksplorasi secara maksimal, jangan “dihentikan”. Kalaupun itu ada motif dan target lain misalnya, gunakan cara yang sedikit elegan dan metaforis. Karib saya di pemerintahan kota ini berujar bahwa para pimpinan OPD dalam situasi sedang galau. Tak berasa “aman”, apalagi “nyaman”. Maksudnya, efek pernyataan begini. Tidakkah lebih baik “sedikit senyap”, mendorong, memberi semangat dulu untuk mengeksplor kinerja? Toh prerogatif itu tetap ada pada kepala daerah, bukan siapa-siapa. Alasan lain, output kinerja di lembaga pemerintahan itu adalah produk dari proses yang terencana dan terukur benar, tak bisa berspekulasi dengan hal-hal yang bisa mengganggunya.
Kita buka-bukaan lagi hal yang sudah terbuka ini. Era pemilihan langsung kepala daerah yang telah berlangsung 20 tahun ini, dengan segala implikasi politisnya, juga sudah disadari oleh banyak orang. Juga para pimpinan OPD tadi. Apa risiko politiknya bila tak sejalan. Itu hal umum dan sudah biasa diamati. Semua orang nyaris menerima ini sebagai salah satu “firman” Pilkada langsung.
Sebagai bagian dari warga daerah ini, sejujurnya ada sebongkah keprihatinan dan kegelisahan yang belum terurai. Saya pernah menulis beberapa tema yang faktual di daerah ini. Berharap ada nilai sumbangsih dan tanggung jawab moral terhadap “tanah leluhur”. Eksistensi pangan lokal Sagu Jai misalnya, yang faktanya sedang di simpang jalan. Variabel daya saing potensi daerah yang terlihat rendah, pelarian modal ke luar daerah yang belum terbendung, bagaimana “mendatangkan” orang, uang, barang dan orang yang membawa orang, barang dan dompet berisi uang, bagaimana ada proteksi kebijakan dan membangun kemitraan antar kepala daerah sekitar untuk “saling menghidupkan”, dan lain-lain. Sebab suka atau tidak, warga daerah ini juga adalah deretan orang-orang yang punya akal sehat dan bisa menilai, bisa membandingkan kinerja antar berbagai kepala daerah yang pernah memimpin, hingga output-nya bagi kemaslahatan mereka. Juga indeks pengukuran kinerja dengan segala instrumen dan implikasi faktualnya bagi kesejahteraan dan kemajuan daerah saat ini sudah begitu terinci, berbasis alplikasi dan kecil potensi manipulatifnya. Hal yang paling sepele, secarik kertas award tentang prestasi pengendalian inflasi daerah yang didapat misalnya, harus korelatif dan terkonversi secara faktual dengan daya beli dan gairah pasar di pasar-pasar rakyat kita. Kita sulit untuk bisa berspekulasi dengan hal-hal begini.
Di negara ini, sejauh yang terbaca dari berita media, tak banyak kepala daerah yang bisa merumuskan visinya secara brilian, berbasis kebutuhan daerah, hingga mampu mengonversinya jadi media mengurai problem daerah, bukan pajangan. Anies Baswedan ketika menjadi gubernur DKI Jakarta, adalah salah satu contoh yang diakui banyak orang.
Ada kisah menarik yang saya sarikan dari cerita teman, plus pengalaman yang saya alami. Ini soal Sinyo Harry Sarundajang, ketika pertama kali menjadi gubernur Sulawesi Utara di periode 2005-2010. Beliau melobi para pemilik grup hotel ternama untuk bisa membangun cabangnya di Sulawesi Utara, khususnya Manado. Ketika ditanya siapa yang nantinya menginap, Sarundajang memberi garansi yang meyakinkan mereka bahwa isi hotel itu urusannya. Maka bermunculanlah banyak sekali hotel-hotel berbintang di Sulawesi Utara dari berbagai pemilik brand yang sudah familiar terdengar. Anda bisa lihat sendiri saat ini.
Sarundajang kemudian berkeliling ke banyak negara Asia, Eropa hingga Amerika Serikat, menawarkan diri sebagai tuan rumah pada event-event besar yang paling mungkin dan sesuai karakteristik potensi Sulawesi Utara. Hasilnya, banyak sekali event regional Asia Tenggara hingga berskala global digelar di Sulut, di periode kepemimpinan mantan Penjabat Gubernur Maluku Utara ini. Saya sempat menikmati efeknya. Tapi ini efek buruk.
Di momentum World Ocean Conference (WOC) 2009, Konferensi Kelautan Internasional yang membawa Sulawesi Utara menjadi tujuan MICE (Meeting, Incentive, Conference, and Exhibition) ini, saya sempat menginap selama 2 hari, tetapi di 3 hotel yang berbeda. Ini sudah mujur, bisa dapat kelas hotel “tak berbintang”. Entah apa pengalaman yang dialami calon penghuni lainnya. Ini bisa terjadi gara-gara nyaris semua hotel di Kota Manado fullbooked dalam beberapa hari itu. Dan seperti apa dampak ekonomi umumnya bagi Kota Manado khususnya dan Sulawesi Utara, bisa dibayangkan sendiri. Itu baru untuk satu event saja.
Kita masih ingat di sebuah momentum ketika Sulawesi Utara, khususnya Manado sempat booming wisatawan dari China, itu karena ada direct flight dari dan ke Bandar Udara Internasional Sam Ratulangi, menghubungkan beberapa kota di Negeri Tirai Bambu. Itu sepintas, cara para pemimpin daerah di sana untuk “cari duit”. Mereka tahu caranya, cara yang sudah sering saya tulis dengan sedikit guyon: mendatangkan uang, mendatangkan orang, mendatangkan orang yang bawa orang, mendatangkan orang yang bawa barang, mendatangkan orang yang bawa dompet. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan