Oleh: Arafik A. Rahman
________
“Cinta yang sejati tidak bebas dari pertengkaran, tapi ia selalu tahu caranya kembali pulih.”
SETELAH beberapa hari kita menjelajahi dan berbincang tentang ketegangan, geopolitik dan perang yang penuh akrobatik Amerika Serikat di Timur Tengah, terhadap Iran versus Israel. Kali ini kita spasi untuk kembali mempercayakan secara literatur tentang dinamika eksekutif versus legislatif di republik yang kita cintai ini. Sebelum lanjut ngopi dulu kawan.
Di panggung megah bernama negara, dua aktor utama kerap menjadi sorotan: parlemen dan eksekutif. Ibarat dua alat musik dalam orkestra konstitusi, keduanya kadang berbeda nada, tapi mestinya satu irama. Yang satu bicara dari balik mimbar legislasi, yang satu beraksi lewat keputusan dan kebijakan. Namun, dalam panggung demokrasi yang gemar dipoles dengan istilah-istilah big boss, seringkali dua institusi ini lebih suka saling menegur daripada saling mendengar.
Padahal, mereka bukan lawan MMA, melainkan mitra main dalam tarian politik yang rumit tapi indah jika keduanya menari dengan seirama, tentu istimewa. Bagaikan sepasang kekasih yang dulu saling berjanji dalam kitab konstitusi revolusi demokrasi, mereka seringkali terlihat mesra di depan umum, namun saling curiga di balik tirai rapat. Hubungan ini, betapa klasiknya: seperti cinta lama yang tak kunjung putus, tapi juga tak pernah benar-benar rukun.
Parlemen memegang palu, eksekutif memegang palang pintu; yang satu menetapkan, yang satu menjalankan. Namun celakanya, di banyak negara termasuk negara yang katanya “berlandaskan musyawarah dan mufakat” palu sering dilempar, dan pintu sering didobrak dari dalam. Kata Michel Foucault, “Power is not an institution, and not a structure; it is the name we give to a complex strategic situation.”
Bahwa relasi antara parlemen dan eksekutif bukan sekadar hitam-putih. Ia adalah ruang tarung yang licin, kadang debat terjadi bukan karena substansi, tapi karena siapa duduk di mana dan siapa dekat dengan siapa. Bila parlemen terlalu kuat, eksekutif pincang dan berakhir jadi komentator acara sendiri. Bila eksekutif terlalu dominan, parlemen jadi ruang sunyi penuh kursi kosong dan rapat-rapat yang berakhir dengan “mohon ditindaklanjut”.
Namun, sesekali, kedua institusi ini bisa mesra bak pasangan pengantin baru. Ketika ada kepentingan yang sama misalnya atau yang lebih jujur: anggaran belanja mereka sesuai target, itu akurnya luar biasa. Bahkan saking akurnya, publik sering kali bertanya: siapa yang sebenarnya mengawasi siapa? Kadang parlemen terlihat seperti adik manis yang menyetujui apa pun yang dibawa abang eksekutif. Tapi di saat lain, mereka bertengkar hebat hanya karena hal remeh: penempatan kursi dalam rapat gabungan.
Demokrasi bukanlah taman bunga yang harum terus; ia taman yang kadang becek, kadang penuh semak. Tapi jika parlemen dan eksekutif bisa merawatnya bersama, meski beda meja, maka negara bisa tumbuh bukan hanya tinggi tapi juga berakar kuat. Sebab sejatinya, kekuasaan yang sehat lahir dari keseimbangan, bukan dominasi. Dari dialog yang tajam, bukan dari teriakan atau sindiran lewat media sosial. Bila parlemen dan eksekutif mampu saling menahan diri dan saling menguatkan, maka rakyat akan bahagia karena pemimpin mereka telah benar-benar memahami tentang ilmu keseimbangan “check and balance” atau ibarat sepasang kekasih yang saling mengisi.
Ada adagium yang dilontarkan oleh Lord Acton, sejarawan asal Inggris, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely,” Bahwa kekuasaan cenderung membuat orang menjadi korup dan kekuasaan yang mutlak pasti membuat orang benar-benar korup.” Karenanya, cinta antara parlemen dan eksekutif ini bukan cinta biasa. Ia lahir dari rasa saling menjaga, atau setidaknya, saling mengawasi. Ibarat pasangan yang tahu pasangannya mudah tergoda, maka mereka menciptakan aturan main: batasan, kontrol, dan sesekali, cekcok keras demi menghindari perselingkuhan kekuasaan.
Hanya saja, kadang cinta ini berubah menjadi semacam “hubungan toksik.” Parlemen kecewa karena merasa eksekutif terlalu dominan. Eksekutif cemberut karena merasa parlemen terlalu cerewet. Lalu muncullah drakor yang penuh akrobatik atau lebih klasik lagi dengan gestur Spartan ketika di ruang pertemuan: mikrofon tiba-tiba mati, suasana mulai panas dan meja pun bisa terbalik. Itulah cinta lama yang sering bertengkar.
Namun harapan tetap ada. Bila cinta mereka kembali pada esensi: melayani rakyat, bukan melayani dominasi, maka percintaan ini akan menghasilkan kebijakan yang menyejukkan. Cinta yang bukan sekadar kata manis saat kampanye, tapi menjadi aksi nyata di meja budgeting, di lapangan dan di hati rakyat yang rindu damai dan keadilan.
Sebagai catatan: bila parlemen dan eksekutif terus bertengkar tanpa solusi, mungkin sudah saatnya mereka kembali merefleksi kepemimpinan Umar Bin Khattab di Madinah atau Baldwin di Yerusalem, untuk kembali berbicara tentang cinta kepada rakyatnya. Karena sejatinya, cinta dalam politik bukan tentang siapa yang menang, tapi siapa yang rela mundur atau maju selangkah demi rakyat.
Tapi harapan tetap ada: bahwa kedua lembaga itu, meski beda meja tapi bisa tetap sejalan. Asalkan ingat, panggung demokrasi bukan milik mereka semata tapi milik rakyat yang kadang hanya bisa tepuk tangan, atau geleng-geleng kepala. (*)
Tinggalkan Balasan