Oleh: Anwar Husen
Tinggal di Tidore
______
UNDANGAN sebagai “tamu spesial” berbentuk pesan WhatsApp itu datang, jauh mendahului hari H seremoni di Sabtu (12/4/2025) kemarin. Ini dari karib Janib Achmad, berkait upacara pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Khairun, Ternate. Sedianya saya mengiyakan akan hadir. Sehari jelangnya, kabar duka keluarga membatalkannya.
Di masa mahasiswanya dulu, dia mantan ketua HMI Cabang Manado. Dia sarjana Perikanan dan Kelautan Universitas Sam Ratulangi. Kami sama-sama di KAHMI Maluku Utara. Gelar magisternya diperoleh dari Universitas de Napoli, Italia.
Dari media malutpost.com [12/4/2025], berjudul “Prof. Janib Achmad Dikukuhkan sebagai Guru Besar Unkhair, Soroti Dampak Perubahan Iklim di Maluku Utara”, saya mengutip beberapa informasi ini.
Karib ini menyandang gelar guru besar atau profesor dalam Bidang Ilmu Kimia Bahan Alam Laut. Bidang ini dipandang relevan dengan potensi dan tantangan wilayah kepulauan seperti Maluku Utara, sehingga sebagai akademisi, karib ini diharapkan mampu berkontribusi signifikan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kelautan dan pemanfaatan bahan alam laut. Janib menyoroti tantangan serius yang dihadapi Maluku Utara, berkait dampak perubahan iklim. Intensitas curah hujan yang tinggi dan kondisi geografis yang sulit diakses membuat masyakat di daerah-daerah terpencil menjadi lebih rentan terhadap krisis kesehatan dan bencana lingkungan. Ini karena tingginya intensitas curah hujan menyebabkan kelembaban yang mendukung pertumbuhan patogen, memperbesar resiko wabah penyakit. Ini diperparah oleh terbatasnya akses transportasi yang memperlambat penangan medis dan distibusi bantuan. Juga menurunnya hasil tangkapan nelayan dan produksi pertanian sebagai dampak langsung perubahan iklim, yang menekan ekonomi lokal dan memperburuk ketahanan pangan. Dia mendorong Pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk mengambil langkah konkrit, mulai dari pengurangan emisi karbondioksida hingga penerapan prinsip etika ekologi.
Mari ke soal isu ancaman ekologi lainnya, sampah, khususnya sampah plastik di Maluku Utara. Sudahkah komitmen terhadap produksi sampah, upaya sistematis menekannya hingga upaya kreatif memanfaatkan sampah, khususnya sampah plastik, yang makin menggerogoti lingkungan ekologis kita menjadi isu, komitmen pemangku kepentingan hingga gerakan moral kolektif kita? Simak beberapa judul berita yang saya kutip dari berbagai media ini. Kurangi Sampah Plastik, Perumdam Tirta Mangutama Badung Serahkan CSR Berupa 80 dan Baliss Galon, [BALIVIRALNEWS, 10 April 2025], Pemprov Bali Larang Penjualan Air Minum Dalam Botol Plastik di Bawah 1 Liter, [kumparan NEWS, 8 April 2025], Sulap Sampah Jadi Berkah: 5 Ide Kreatif Daur Ulang Barang Bekas Yang Bikin Rumah Makin Cantik, [BanyuwangiVIVA, 3 April 2025], Prabowo Perintahkan AHY Bentuk Satgas Pengelolaan Sampah Nasional, [BERITASATU, 12 Maret 2025], Berbahaya, Ada Dugaan Pembuangan Limbah Medis di TPA Supiturang Kota Malang, [JATIM TIMES, 12 April 2025], Andra Soni Temui Pramono, Bahas Banjir-Perluasan Rute MRT hingga Balaraja, [detiknews, 9 April 2025], Opini Arif Subekti: Soal Sampah Banjarmasin dan Kebijakan Out of The Box, [RADAR BANJARMASIN, 11 April 2025], Banjir Jalan Raya Malang-Surabaya Akibat Sumbatan Sampah Batang Pohon, [detikjatim, 11 April 2025], Viral Sampah Menumpuk Tutup Akses Jalan di Kabupaten Malang, [12 April 2025], Menteri LH Dukung Bali Larang Jual Air Minum Kemasan di Bawah 1 Liter, [CNN Indonesia, 12 April 2025].
Banyak kepala daerah usai pelantikan beberapa waktu lalu, menjadikan urusan penanganan sampah, khususnya sampah plastik sebagai aktivitas dan program 100 harinya. Banyak berita media yang viral soal ini, tak terkecuali Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Berita di atas adalah bentuk dan potret komitmen.
Ada kepala daerah, yang ketika berdiri di podium dan berbicara tanpa teks, dia berbicara dengan ide dan gagasan, hingga menjadi pemantik wacana dan diskursus publik tentang masalah hingga kebutuhan dan masa depan daerahnya. Bahkan menjadi kebanggaan warganya karena punya kepala daerah yang hebat. Tetapi ada juga yang terlihat datar dan berputar-putar, tak tahu arah dari mana dan hendak ke mana.
Jika kota di pulau-pulau besar, potensi akumulasi sampah yang mengalir dan menggenangi hingga merusak ekosistem kehidupan lautnya, masih lebih mudah di proteksi sejak awal. Tetapi tidak dengan Maluku Utara. Karakteristik alamnya berpulau, memiliki cukup banyak potensi sampah yang terbawa ke laut dari setiap pulau. Apalagi jenis sampah plastik. Belum lagi potensi dampak buruk di area pertambangan.
Cerita tentang berbagai jenis sampah khususnya sampah plastik yang “menguasai” perairan kita khususnya di sekitar Ternate dan Tidore, bukan lagi hal luar biasa. Toh, jika ada yang merasa prihatin, termasuk para pemangku kepentingan, maka keprihatinan itu sudah hal biasa juga dan akan hilang usai turunnya hujan dengan intensitas tertentu. Dan hingga saat, data asumsi volume sampah khususnya sampah plastik yang “berkembang biak” di perairan sekitar pulau Ternate dan Tidore tidak pernah ada. Mungkin saja ada rencana membangun pulau buatan [artificial island], “menandingi” artificial intelegence [AI].
Tak usahlah berbicara tentang korelasi kehidupan ekosistem laut yang sehat dan produktivitas hasil laut untuk kehidupan, ini terlalu akademis dan berat, yang jadi tugasnya karib saya, profesor Janib tadi.
Renungi saja area jarak tangkap [fishing ground] bagi nelayan kita dalam 20 tahun terakhir. Lihat saja berapa banyak kampung nelayan tradisional kita di Maluku Utara yang armada tangkapnya berubah jadi besi tua. Makin jauh area jarak tangkap-makin tinggi biaya produksi-makin mahal harga ikan, itu hukum ekonomi yang sudah “baku”, tak usah didiskusikan. Serimoni dan Peringatan Hari Nusantara, atau apapun namanya, tak cukup untuk memanggil ikan-ikan itu “pulang kampung” kalau semua itu hanya retorika kosong.
Pengukuhan karib saya sebagai profesor di Bidang Ilmu Kimia bahan Alam Laut tadi bagi saya, menandai perlunya daerah kepulauan ini dibangun berbasis data dan kuat pendekatan akademiknya, karena tingkat kerentanannya yang cukup tinggi. Luas laut kita, cukup untuk menyandang label provinsi kepulauan.
Saat saya masih menjabat sebagai kepala Dinas Pariwisata Provinsi Maluku Utara, di event Gerhana Matahari Total [GMT], 9 Maret 2016 lalu, kami menggunakan konsep Go Green, sebuah gerakan peduli lingkungan dengan mengajak masyarakat khususnya pelajar di Maluku Utara, untuk mengubah gaya hidup menjadi lebih ramah lingkungan. Kami menyediakan 5.000 botol air gratis untuk pelajar dan masyarakat dan fasilitas air isi ulang di beberapa tempat. Sebuah upaya dan pembelaran bagaimana menekan volume sampah plastik dari potensi kemasan plastik dari air minum. Berharap bisa menjadi contoh konsep awal yang bisa berkembang, tetapi faktanya agak sulit. Perlu ada regulasi yang mendukung kegiatan mengurangi atau kampanye pembatasan penggunaan bahan plastik. Lembaga pendidikan sekolah perlu menanam sejak dini prilaku dan kebiasaan sedapatnya menghindari penggunaan bahan plastik. Yang belum paham dampak buruk sampah plastik, tanya saja DeepSeek.
Perilaku hidup bersih, apalagi punya sensifitas yang tinggi terhadap implikasi buruk sampah, khususnya sampah plastik itu, tidak ada sekolahnya. Etos, peduli, sensifitas dan kepekaan itu, hasil latihan, bukan datang otomatis karena jabatan. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan