Trip ini diikuti para pecinta Wallace. Seperti Alan dan Vanessa yang berasal dari Las Vegas, Amerika Serikat, yang sudah tiga kali mengikuti trip serupa dengan rute berbeda di Nusantara.

Kapal lalu berlayar pelan menuju Dodinga (juga disebut Dojinga atau Dodingo dalam literatur), sebuah desa kecil di barat Halmahera.

***

Dodinga masuk wilayah administrasi Kabupaten Halmahera Barat. Luas desa itu 6,02 km persegi. Pada 2019, jumlah penduduk di desa tersebut 1.362 jiwa. Penduduknya sebagian besar adalah petani, pedagang, dan nelayan.

Wallace dalam bukunya, The Malay Archipelago (1869), mengungkapkan perjalanannya ke desa tersebut.

George Beccaloni memberikan penjelasan pada rombongan napak tilas Wallace di depan kantor Desa Dodinga. (Tandaseru/Ika Fuji Rahayu)

Wallace tiba di Ternate tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-35, 8 Januari 1858. 14 hari setelah tiba di Ternate, Wallace berlayar ke Pulau Halmahera. Saat mengunjungi Halmahera, ia pertama kali menginjakkan kakinya di Sidangoli (Sedingole). Namun di desa tersebut tak ditemukan kekayaan biodiversitas seperti yang diharapkan. Wallace menggambarkan Sidangoli sebagai “dataran yang ditumbuhi rerumputan tinggi yang kasar, di sana-sini dipenuhi pepohonan lebat, kawasan hutan hanya dimulai dari perbukitan jauh di pedalaman. Tempat seperti itu hanya memiliki sedikit burung dan tak ada serangga”.

Setelah dua hari di Sidangoli, Wallace dan asistennya Ali dan Charles Allen, melanjutkan perjalanan lewat jalur laut ke desa berikutnya, Dodinga. Dodinga tersembunyi di dalam sebuah teluk dikelilingi mangrove yang berhadapan dengan Ternate. Perahu sewaan Wallace memasuki sebuah kanal mangrove yang tembus ke desa. Kanal itu merupakan sungai yang melintasi desa dan berakhir di laut.

Di tepi sungai itu, ia menemukan sebuah pondok beratap bocor milik penduduk desa dan menyewanya 5 guilders sebulan. Di pondok itulah Teori Evolusi oleh Seleksi Alam Wallace tercetus.

***

Ombak Putih tak bisa berlabuh di pelabuhan Dodinga. Jadi kapal itu buang jangkar di teluk dan kami harus kembali melanjutkan perjalanan dengan sekoci. Sopir-sopir mobil sewaan yang telah menunggu di pelabuhan mengantarkan kami ke kantor desa yang tutup. Staf-staf Dinas Pariwisata Maluku Utara menyambut kami di kantor desa. Mereka dipimpin Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata, Hairiah.

Di halaman bangunan kantor yang sederhana itu, tampak dua meriam ditempatkan sebagai “penjaga”. Tertulis di badan meriam, tahun pembuatannya 1783.

Dua meriam di depan kantor Desa Dodinga. (Tandaseru/Ika Fuji Rahayu)

George bilang, dalam penjelasannya kepada para tamu, meriam itu diambil dari benteng buatan Portugis yang belakangan dikuasai Belanda. Benteng itu terletak di dalam kampung Dodinga, di atas bukit tak jauh dari kantor desa.

Keberadaan benteng juga ditulis Wallace dalam The Malay Archipelago. Benteng dan menaranya, tulis Wallace, sudah lama dihancurkan gempa bumi. Reruntuhannya membentuk kumpulan batu padat setinggi sekitar 10 kaki dan luas sekitar 40 kaki persegi. Di bekas reruntuhan itu terdapat sejumlah gubuk jerami yang ditempati garnisun kecil yang terdiri atas seorang kopral Belanda dan empat tentara Jawa. Mereka merupakan perwakilan tunggal pemerintahan Belanda di Pulau Halmahera.

Saat kami mengunjungi reruntuhan benteng itu, satu-satunya tembok yang tersisa adalah di sisi barat daya. Di sekitar reruntuhan ditemukan pecahan keramik dan porselen China berkualitas tinggi yang dipercaya berusia ratusan tahun. Ada patok hitam putih di empat sisi benteng, penanda ada otoritas tertentu yang tengah melakukan penggalian di benteng tersebut.

Tembok yang tersisa di benteng yang terletak di Desa Dodinga. (Tandaseru/Ika Fuji Rahayu)

Dodinga di masa kunjungan Wallace dihuni orang-orang Ternate. Sedangkan orang asli Halmahera, yang disebut Alfuros, hidup di pantai timur pulau atau di semenanjung utara.