Kondisi tersebut, kata Jusuf, mengarah pada post truth era, yaitu suatu kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam opini atau pandangan masyarakat dibandingkan dengan emosi, keyakinan atau keberpihakan personal terhadap sebuah informasi. Di mana masyarakat begitu mudah menemukan informasi yang cenderung hoaks dan tidak jelas kebenarannya.

“Kita sulit menemukan mana benar dan mana salah. Kadang publik lebih tertarik pada informasi yang tidak jelas sumbernya. Sudah tahu itu hoaks tapi selalu digoreng-goreng. Jadi post truth ini lebih banyak dominasi pencitraan dan kebohongan. Keduanya itu beda tipis dan itu justru dilakoni oleh para
elite dan itu yang mereka suka,” ujarnya.

“Apalagi menjelang momen-momen politik. Di satu sisi kita diperhadapkan pada ambigusitas medai, terutama media online yang begitu cepat bergerak walaupun kadang tingkat keakuratannya minim. Kadang-kadang lebih banyak menyajikan opini ketimbang fakta. Inilah realitas yang kita hadapi sekarang,” imbuh Jusuf.

Ia pun menyentil fenomena click bait headline yang menyajikan berita dengan judul bombastis, tetapi isi berita lebih banyak opini
media atau wartawan.

“Kemudian kita disajikan informasi yang tidak
utuh dan akurat. Ketika publik membaca justru tidak ada hal yang baru dan penting. Dan ini yang sering saya rasakan, mereka menulis saya tapi tidak pernah konfirmasi,” tukas mantan Kepala Bagian Humas Setda Ternate ini.

Jusuf menyebutkan, kecanggihan teknologi Artificial Intelengence juga begitu mudah merekayasa foto, mengumpulkan informasi dan menyusun menjadi berita palsu. Dilansir dari laman Katadata Insight Centre, di Indonesia sendiri setidaknya terdapat 30–60 %, orang terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya.