Setelah 25 tahun reformasi, kita baru sadar bahwa sesungguhnya kita masih berjalan berputar-putar. Reformasi berhasil memaksa dwifungsi ABRI diakhiri, tetapi saat ini kita membiarkan para TNI dan Polri aktif menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian/ lembaga. Parpol yang kita harapkan menjadi milik publik, kini hanya dikuasai sekelompok orang, yakni, orang tua, anak, saudara, dan keluarga. Hak untuk menentukan masa depan Indonesia tetap saja di tangan sekelompok orang. Sutradara dan aktornya juga tidak banyak berubah. Sentralisasi yang kita tentang juga kini justru sudah kembali dan menguat.

Pengakuan Gibran pasca “wedangan politik” dengan Prabowo, sebagai “anak kecil” menjadi menarik kita dalami dalam dinamika politik menjelang Pemilu 2024. Kongres Rakyat Nasional (Kornas) rekan juang politik Jokowi sejak 2014 dan kini berjuang bersama Ganjar Pranowo menyampaikan pandangan sebagai berikut:

Pertama, bahwa aksi “cari muka” elit politik nasional kepada Presiden Jokowi melalaui Gibran, Bobby, Kaesang menjadi bukti bahwa elit politik sesungguhnya tidak memiliki ide, gagasan, program untuk ditawarkan kepada publik. Tidak ada figur yang memiliki pengaruh yang kuat, sehingga semua butuh “endorse” Jokowi. Semakin dekat ke Jokowi dan keluarganya, semakin yakin mendapatkan dukungan publik.

Kedua, sebagai “anak kecil”, Gibran, Bobby, dan Kaesang akhirnya “matang” sebelum waktunya. Gibran saat ini lebih banyak dibebani urusan politik nasional daripada urusan Solo. Setiap kali Gibran bertemu wartawan, topik yang dibahas justru berkaitan dengan Pilpres. Elit politik bertanggung jawab atas beban berat yang dipikul Gibran saat ini. Gibran yang seharusnya fokus urus Solo, kini terpaksa membagi waktu dan pikiran mengurus elit politik nasional dan para Capres.

Ketiga, bahwa elit politik secara nyata memanfaatkan sekaligus mengeksploitasi Gibran dan adik-adiknya dalam memeroleh perhatian Jokowi dan relawannya. Kepolosan, keramahan, keterbukaan Gibran justru dimanfaatkan elit politik untuk meraih simpati publik. Sadar dimanfaatkan elit politik, membuat Gibran akhirnya memanfaatkan kegenitan para elit politik “penggemar” Gibran. Maka meski mengaku sebagai “anak kecil”, tidak sedang “bermanuver”, Gibran berhasil menjadikan dirinya menjadi pusat negosiasi politik nasional melampaui bapaknya Jokowi. Anies Baswedan yang disebut sebagai antitesa Jokowi saja secara khusus mendatangi Gibran, bukan Jokowi.