Lagi-lagi pola greenwashing dan greenwishing jadi strategi pamungkas yang membahayakan. Bagaimana tidak, pihak korporasi rela menggelontorkan sejumlah dana untuk kegiatan-kegiatan yang tidak menyentuh langsung ranah privat kehidupan masyarakat. Misalnya, korporasi hanya bersedia menjadi sponsor klub sepak bola dengan mengadakan kostum para tim, atau kebutuhan lainnya, dan tidak mengutamakan tanggung jawab sosial yang lebih besar dan merata.

Terbaru, Harita Group telah mensponsori klub sepak bola di Halmahera Selatan. Kemudian, PT Mineral Trobos yang siap melakukan hal yang sama untuk Malut United FC dengan alasan karena bentuk kepedulian terhadap dunia olahraga di Maluku Utara. Beneren ini ngebual banget. Karena belum lama ini, bersama beberapa perusahaan lainnya, PT Mineral Trobos pernah dipanggil oleh Panitia Khusus DPRD perihal pajak kendaraan, padahal sudah beroperasi bertahun-tahun di Maluku Utara.

Upaya-upaya korporasi mensponsori sepak bola ini merupakan strategi sports-washing. Akal-akalan ini tidak hanya terjadi di Halmahera Selatan maupun Maluku Utara pada umumnya, tetapi di belahan benua manapun, fenomena sports-washing sudah menjadi isu kontroversial. Sebab, itulah cara korporasi bekerja untuk mencari legitimasi dan simpati publik lewat kegiatan olahraga.

Andrew Simms, salah satu direktur New Weather Institute yang dikutip Matthew Taylor, dalam artikelnya “Major climate polluters accused of greenwashing with sports sponsorship (2021)” pernah mengurai persoalan ini. Pandangannya relevan dengan fakta di Maluku Utara. Menurut Simms, olahraga kini disponsori oleh para pencemar lingkungan, memperburuk krisis iklim dengan gaya hidup berkarbon tinggi. Mereka tampil seolah-olah sangat bertanggung jawab atas lingkungan.

Mengonfirmasi pandangan Simms, ketiadaan tanggung jawab lingkungan dapat kita jumpai dalam hasil riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang ramai dikecam baru-baru ini oleh kelompok pro korporasi. Jatam telah membuktikan atas kejahatan itu, bahwa di balik operasi Harita Group di Pulau Obi, misalnya, salah satu perusahaan ekstraksi nikel terbesar di Maluku Utara ini menciptakan daya rusak lingkungan yang sulit dipulihkan. Akibatnya, menyulitkan “hak sehat” warga setempat, karena air bersih, udara, dan laut yang telah dicemarkan.