Oleh: Sofyan A. Togubu
Pegiat Literasi
_______
UMUMNYA budaya dimaknai sebagai kebaikan seseorang atau kelompok diwariskan secara turun temurun, sudah melekat bahkan telah mendarah daging. Kebiasaan sering dilakukan secara kontinu, sulit untuk dihilangkan.
Suatu kesempatan, penulis melewati jalan raya melewati lampu lalu lintas atau sering dikenal dengan traffic light atau lampu merah di berbagai persimpangan jalan di Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Ada sebuah fenomena tak asing lagi dilihat bahkan hampir setiap seminggu sekali kita menyaksikan generasi muda asyik menjual baik minuman bahkan makanan ringan di bawah lampu merah.
Rata-rata para remaja tersebut adalah mahasiswa, salah satu alasan mereka berjualan yakni menggalang dana diperuntukkan pembiayaan kegiatan. Akibatnya, budaya itu juga sering ditiru generasi. Sepintas yang terlihat tidak ada salahnya.
Namun, di sisi lain kebiasaan dilakukan ini justru mencerminkan ketidakmampuan mahasiswa, minim kreativitas dan inovasi. Mereka berpikir satu solusi yaitu turun ke jalan raya berjualan di bawah lampu merah. Padahal, sebagai mahasiswa dikenal tidak hanya kemampuan akademis namun juga kreatifitas.
Jika mahasiswa belum memiliki modal sama sekali, maka salah satu jalurnya adalah bekerja sama dengan pihak khususnya pada sektor Usaha Mikro kecil Menengah (UMKM) memproduksi produk lokal, bisa memanfaatkan kemajuan teknologi digital untuk memposting produk di berbagai media sosial. Nah, tidak secara langsung mahasiswa turut menyaksikan pembuatan produk lokal untuk dikembangkan sebagai kreativitas penuh nilai daya guna.
Tinggalkan Balasan