Oleh: S.S.Suhara (Endhy)

Ketua Komunitas Literasi Anak Bangsa (KLAB) Kota Ternate

______

“Dengan surat kabar, kadang-kadang muncul kericuhan. Tapi tanpa surat kabar akan selalu muncul penindasan.”

Benyamin Constant (1767-1834)

MEMASUKI pertengahan bulan suci Ramadan 1443 H, tepatnya 17 April 2022, Pengurus Ikatan Cendiakawan Muslim Indonesia (ICMI) Provinsi Maluku Utara menggelar Tadarus Buku dengan judul Jurnalisme yang Tergadai: Dilema Media Lokal di Era Digital.

Undangan terbuka. Malam itu usai salat tarawih, saya juga bergegas segera datang ke sekretariat ICMI Malut di kompleks Pohon Amo Kelurahan Salahuddin Kota Ternate Tengah untuk mengikuti tadarus buku tersebut, menarik karena penulisnya juga adalah pernah terjun di dunia pers.

Di dalam ruangan ukuran kira-kira 7×8 meter persegi tersebut, nampak para diskusan, penulis dan pengurus ICMI Malut duduk bersilang. Mereka yang hadir yakni Ghalim Umabaihi selaku penulis, M. Asghar Saleh selaku Diskusan, DR. Enang Yusuf Nurjaman, DR. Rauf Wajo bertindak sebagai moderator, Ketua ICMI Malut Kasman Hi.Ahmad, Darsis Humah, DR. Herman Oesman dan undangan lainnya.

Dari diskusi tersebut, banyak masukan dan kritikan dari berbagai kalangan mengenai kebesaran media pers di era saat ini yang menurut mereka tidak sejalan lagi dengan tugas dan fungsi pers sebagai kontrol sosial.

“Media tidak lagi berpihak kepada kepentingan-kepentingan publik, mereka lebih fokus pada kepentingan tertentu. Ini merugikan publik. Jangan cederai kerja wartawan yang mulia itu,” kata Abang Asghar.

Sementara di sisi lain, tumbuh pesatnya media digital di era saat ini menjadi tantangan tersendiri bagi media cetak. Meski para praktisi media sudah memprediksi di era media daring tersebut, secara otomatis akan mematikan aktivitas perusahaan media cetak. Meski teori tersebut nyaris benar adanya, belum memberikan 100 persen bukti kebenarannya.

Buktinya saat ini, media cetak di Indonesia lebih khusus di Maluku Utara masih menyajikan hidangan-hidangan lezat untuk dikonsumsi oleh publik (tetap hidup).

Tumbuhnya media online mestinya dibarengi dengan kemampuan sumber daya manusia yang disiapkan untuk menjalankan tugas-tugas jurnalisitik di lapangan.

Artinya, pemilik media harus menggelar pelatihan jurnalistik, sehingga tugas pers yang mulia itu dijalankan dengan baik.

“Saya ini bergabung dengan media daring sejak tahun 2021 tetapi karena arahan dari pimpinan tidak sesuai dengan kode etik tugas dan fungsi pers maka saya keluar dan bergabung dengan media daring lainnya,” kata salah satu wartawan.

Dilematis, perusahaan media daring tidak menyediakan upah bagi karyawan, membuat seorang wartawan pintar-pintar melihat peluang. Dia harus menafkahi dirinya sendiri dengan mencari advertorial, iklan dan berita promo news. Tetapi ada juga media daring yang memberi gaji kepada wartawan.

Banyak hal terungkap pada tadarus buku tersebut. Misalnya, tidak mendalamnya sebuah berita, copy paste, berita yang tak berimbang, hingga mudahnya seorang oknum wartawan menerima amplop dari sumber dengan tujuan menutupi atau tidak mempublikasikan sebuah berita.