Oleh: Mansyur Armain
Jurnalis dan Pegiat Literasi Folila
______
SENJA perlahan muncul. Sore itu, Mey Yuliyanti, perempuan dengan trauma masa kecilnya baru saja membantu ibunnya di dapur. Ia keluar dari dapur menuju teras rumah. Dengan wajah senyum, ia bergegas menghampiri saya di depan rumahnya.
Hari itu mendung. Tak biasanya usai membantu ibundanya, dan jarang keluar menerima tamu. Saya pun datang menemuinya sesuai janji saat bertemu di kedai kopi Rumah Tua Literasi dalam diskusi tentang perempuan dan kekerasaan beberapa hari lalu. Pertemuan yang tak kebetulan itu, ia sedikit bercerita tentang kehidupannya, rasa sakit melihat ibu yang mengalami kekerasaan dari bapaknya.
Singkat cerita. Saya pun melangkah menuju teras rumah, sambil duduk menunggu perintahnya. Tak lama kemudian, Mey mempersilahkan untuk beristirahat sebentar.
“Tunggu, saya ambilkan es buah dulu.”
Ia lalu melangkah ke ruangan dan mengambil es buah yang tersimpan di dalam kulkas, lalu memberikan kepada saya.
Setelah beberapa menit menikmati es buah, saya pun mulai mewawancarainya.
“Sebenarnya, sakit yang dirasakan itu sejak kecil,” ungkap Mey, Kamis (3/3).
Di usia yang masih kanak, ia menyaksikan langsung kedua orang tuanya yang sering melakukan kekerasaan rumah tangga. Dari situlah, ada trauma dan dipendam hingga dewasa.
Dalam hatinya, Mey takut menikah.
“Takut akan terjadi seperti yang dilakukan ayah,” tuturnya.
Selama tinggal bersama kedua orang tuanya, Mey bilang, mereka tak pernah bertanya tentang kondisi anaknya yang masih bersekolah. Tak hanya itu, ibu bapaknya saja tidak pernah tahu isi hati Mey. Kesibukan orang tuanya dalam pekerjaan membuat mereka tidak bisa memperhatikannya.
Ingatan itu masih tersimpan rapi di memori. Dipendam hingga lulus SMA. Selanjutnya, Mey masuk di perguruan tinggi Universitas Muhammadiyah Malang. Ia memulai dengan kehidupan dan aktivitas baru sebagai mahasisiwi. Ingatan masa kecil pun sering muncul. Rasa trauma itu terus beronani dalam pikiran.
“Masak saya punya orang tua bisa lakukan kekerasan, kenapa saya tidak bisa buat? Pertanyaan itu selalu hadir. Ketika gejala sakit muncul, dan tiba-tiba bertanya dalam hati, ada sesuatu yang salah,” ujarnya.
Pertanyaan demi pertanyaan belum terjawab. Perempuan yang mengalami trauma itu ingin memperbaiki kesalahan yang sudah terjadi sebelumnya. Namun sudah terlanjur, dan akhirnya membiarkan cerita itu menjadi rahasia pribadi.
Tinggalkan Balasan