Oleh: Suhardy Hamid Rajji
Pengurus Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Malut & Relawan Rumah Baca Belo-Belo Haltim
______
MALAM itu Kota Makassar turun hujan gerimis, setidaknya itu yang ku tahu dari balik jendela lantai 6 kampus kebanggaanku. Di depan jalan Urip Sumoharjo jalanan tengah macet merayap. Kendaraan bersahut-sahutan membunyikan klaksonnya. Hal yang paling tidak ku sukai dari jalanan. Padahal orang-orang egois itu tidak harus ngotot membunyikan klaksonpun setiap pengendara tetap akan berusaha untuk sampai di tujuannya.
“Kenapa bisa pabrik motor harus nabuat itu klakson kah?” Kalimat ini pecah dari mulut ku sambil kutatap Danum yang terus menatap jalanan sambil menghisap rokok Class Mild di tangannya.
“Num, bagaimana mi ini? Mo balik sekarang kah? Di UMI sama Gubernur (kantor) Polisi masih na sweeping itu mahasiswa nah.”
Danum nampak acuh dengan perkataanku barusan. Ia asyik dengan tontonannya, matanya terpaku pada kendaraan-kendaraan itu. Danum pernah bilang, ia begitu suka dengan suara hujan. Aku mendekati Danum dan merebut rokok di tangannya.
“Jam 11 mi sekarang, Lala,” Ku sebut panggilan sayangku kepada Danum. Nama yang kuberi untuk mengingat kampungku Halmahera.
“Iyo, ayo pale…”
Dengan nada jengkel Danum mengiyakan untuk kami bergegas pulang. Kamipun menuju parkiran motor.
Di pelataran parkir masih bisa terlihat sisa-sisa pecahan kaca motor yang sempat diobrak abrik aparat dan preman yang mungkin kesal dengan aksi mahasiswa siang tadi. Walaupun dengan pandangan samar lampu taman kampus, kami masih bisa melihatnya dengan jelas.
“Jadi kita mau lewat mana? Kalau lewat Pettarani terus ke Abdesir pasti macet ji juga, Lala,”
“Jadi bagaimana mi Om?”
“Stop ko panggil saya om,”
“Kau itu yang stop panggil saya Lala,”
“Hihi, bagaimana kalau malam ini kita nginap saja di Benhil nah?” Aku menggoda Danum dengan wisma yang tepat ada di depan kampus kami, 45 Makassar. Tempat dimana lalu lalang para hidung belang nongkrong.
“Sembarangmu itu. Mau bayar pakai apa coba?”
“Ih, jadi ko mau ji kalau ada uangmu Lala na?”
“Sudah, sudah. Ayo jalan mi cepat. Capek sekali mi kurasa sekarang e kodong,”
“Iyooo. Jadi lewat jalur mana kita?”
Tinggalkan Balasan