Tandaseru — Mahkamah Konstitusi memutuskan tidak dapat menerima permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 13/PHP.KOT-XIX/2021 Senin (15/2/) sore di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan ini diajukan Pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Nomor Urut 3, Salahuddin Adrias dan Muhammad Djabir Taha (SALAMAT).
Dilansir dari situs resmi MK, dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan tidak menemukan adanya uraian terkait dugaan penyalahgunaan APBD Kota Tidore Kepulauan oleh Pihak Terkait.
Pada permohonan Pemohon, sambung Arief, sama sekali tidak dijelaskan keterkaitan antara dugaannya dengan hasil perolehan suara dalam Pilwalkot Tidore Kepulauan Tahun 2020.
Selain itu, berdasar keterangan Bawaslu Kota Tidore Kepulauan tidak ada laporan ke Bawaslu berkenaan dengan transaksi uang yang bersumber dari APBD Tahun 2020 tersebut.
Selain itu, Mahkamah menyatakan, berdasarkan Rekapitulasi Data Kependudukan Semester I Tahun 2020 yang disusun oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, jumlah penduduk Kota Tidore Kepulauan adalah sebanyak 115.089 jiwa, sehingga perbedaan perolehan suara antara Pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak untuk dapat mengajukan permohonan PHP Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan Tahun 2020 adalah paling banyak sebesar 2% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Tikep.
Jumlah perbedaan perolehan suara antara Pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak adalah paling banyak 2% dari total suara sah dalam Pilwako Tidore Kepulauan Tahun 2020, atau 2% dari 65.123 suara, atau berjumlah 1.302 suara.
“Berdasarkan hal tersebut, perolehan suara Pemohon adalah 19.552 suara, sedangkan perolehan suara Pihak Terkait (pasangan calon peraih suara terbanyak) adalah 29.320 suara, sehingga selisih perolehan suara antara Pihak Terkait dan Pemohon adalah 9.768 suara (15,00%). Dengan demikian selisih perolehan suara Pemohon dengan peraih suara terbanyak adalah melebihi persentase sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 158 ayat (2) huruf a UU 10/2016,” jelas Arief.
Oleh karena itu, Mahkamah tidak lagi mempertimbangkan hal-hal lain yang berkaitan dengan permohonan a quo, karena tidak ada relevan dan tidak mempengaruhi perolehan suara akhir.
Tinggalkan Balasan