Tandaseru — Forum Pimpinan Redaksi (Pemred) Maluku Utara Kamis (22/10) tadi kembali menggelar aksi di depan Polda Maluku Utara, terkait oknum polisi yang sempat menghalangi kerja-kerja pers pada aksi mahasiswa Omnibus Law di depan kantor wali kota.
Dalam aksi mahasiswa yang digelar pada Selasa lalu (21/10) itu sempat terjadi insiden terhadap para pekerja media. Sejumlah wartawan diketahui didorong oknum polisi dan diminta untuk tidak merekam seorang massa aksi yang sedang diamankan polisi di lantai dua kantor wali kota.
Aksi jilid II Forum Pemred ini sedikit berbeda. Para pimpinan media dan wartawan menggelar aksi bisu sembari membentangkan sebuah spanduk bertuliskan “Hari Berkabung Pers Maluku Utara”. Dalam aksi ini, massa aksi mendesak Kapolda Irjen (Pol) Rikwanto memberi sanksi oknum polisi pelaku intimidasi.
Setelah beberapa jam berdiri di depan Polda Maluku Utara, Pimpinan Redaksi Halmaherapost.com Firjal Usdek bersama jurnalisnya Yunita Kadir, yang juga diketahui sebagai korban yang didorong oknum polisi, tampak masuk ke Mapolda memasukkan laporan pengaduan.
“Kami sudah memasukkan laporan tapi banyak mendapat kendala. Laporan kami terkait polisi yang mengahalangi-halangi dan mengusir wartawan saat meliput ditolak tanpa alasan yang jelas,” ucap Firjal.
Ia bilang, laporannya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
“Pasal 18 dalam UU tersebut, secara jelas menyebutkan bahwa setiap orang yang menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik akan diancam pidana maksimal dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta,” pungkasnya.
Sementara itu, Maharani Caroline dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Marimoi, yang ikut mendampingi para wartawan mengaku kehadirannya dalam aksi pers itu untuk bersolidaritas, melaporkan oknum polisi yang mencoba menghalangi kerja-kerja wartawan.
“Nah kemarin kita datang ke sini, tapi Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Maluku Utara tidak bisa menerima laporan kami,” ujar Maharani.
“Akhirnya kami balik sesuai dengan saran mereka, ternyata kita disuruh buat laporan ke Krimsus dan Krimum. Kita ke Krimsus kita melaporkan tindak pidana menghalangi, sebagaimana UU Pers. Yang kedua penganiayaan dan kejahatan asusila,” sambungnya.
Ia bilang, pihak Krimsus juga tidak bisa menerima kasus yang berkaitan dengan pers.
“Mereka bilang hanya menangani beberapa tindak pidana. Kita disuruh ke Krimum. Sampai di Krimum kita diterima Wadir, Wadir juga menolak. Mereka tidak menerima ini kecuali kejahatan penganiayaan dan kejahatan kesusilaan,” jelasnya.
Ia menambahkan, dalam kasus ini cukup membingungkan karena institusi kepolisian dianggap saling lempar kewenangan.
“Yang saya anggap sebenarnya tidak profesional, saling melemparkan kewenangan, jadi kita balik lagi (ke Polda) menyerahkan ke mana laporan kita, bingung ini harus jadi kewenangan siapa. Soal UU pers tidak diterima. Mereka bilang mereka tidak pernah menangani kasus ini, bukan kewenangan mereka,” paparnya.
Namun, kendati begitu, ia dan para pekerja media akhirnya menyerahkan berkas pelaporan tersebut ke Humas Polda Maluku Utara.
“Tadi sudah diterima (Humas Polda), kita menunggu perkembangan dari mereka,” tutupnya.

Menanggapi itu, Kabid Humas Polda Maluku Utara AKBP Adip Rojikan, mengatakan terkait dengan penolakan itu pasti ada syarat-syarat yang belum dipenuhi. Karena pelaporan itu tentu ada mekanismenya.
“Jadi bukan ditolak (pelaporannya),” ucap AKBP Adip Rojikan.
Namun, setelah tahu bahwa laporan tersebut benar-benar belum bisa diterima Krimsus maupun Krimum, ia mengaku akan tampung dulu informasi tersebut.
“Akan saya tampung informasi ini dan saya minta kebijakan atau petunjuk dari Bapak Kapolda,” jelasnya.
Tinggalkan Balasan