Oleh: Riski Ikra

Kabid Internal sahabat_nulis

_______

Negara hadir untuk investor, bukan penjaga warisan.”

MALUKU Utara selama ini dikenal sebagai “dapur negara” yang kaya akan sumber daya alam untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Dari tambang nikel yang menjadi primadona, hingga perkebunan pala, cengkeh, kelapa, dan hasil alam lainnya, wilayah ini terus menyuplai bahan mentah yang sangat dibutuhkan oleh industri besar di ibu kota dan berbagai negara lainnya. Namun, sektor yang paling masif berkembang di Maluku Utara adalah industri ekstraktif, yang menjadikan provinsi ini sebagai pusat eksploitasi besar-besaran.

Namun, di balik gemerlap angka-angka pertumbuhan ekonomi yang sering dipamerkan, ada cerita lain yang jarang terdengar: masyarakat adat di Maluku Utara khususnya di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan secara umum kepulauan Halmahera yang kini di tempati oleh industri ekstraktif, sering kali diabaikan, bahkan dirampas hak-haknya atas tanah leluhur mereka sendiri.

Perampasan tanah adat bukan lagi sebuah rahasia. Bukti-buktinya begitu jelas, termasuk video yang masih hangat beredar saat warga Maba Sangaji Halmahera Timur menjalankan prosesi adat untuk menegaskan hak mereka atas tanah leluhur. Namun, pesan yang mereka sampaikan kerap diabaikan. Peristiwa serupa terus berulang, dan di Halmahera Timur, suara-suara penolakan itu justru berujung pada penangkapan.

Masyarakat di sana hidup turun-temurun dari tanah dan hutan bertani, berburu, dan menjaga alam sebagai warisan budaya. Tapi kini, tanah mereka perlahan dirampas perusahaan bermodal besar, dengan izin negara dan tanpa menghormati adat.

Sosiolog Pierre Bourdieu pernah berkata, “Kekuasaan sering kali bukan hanya soal penguasaan fisik, tetapi soal kemampuan untuk membisukan suara-suara yang lemah.” Dan itulah yang terjadi di sini. Suara masyarakat adat yang mempertahankan tanah mereka sering kali tenggelam di tengah riuhnya kepentingan ekonomi dan politik.

Tanah itu warisan leluhur dijaga turun-temurun. Tapi kini, izin investasi menjelma jadi alat rampas. Di Halmahera Timur, tanah diambil tanpa bicara, tanpa tanya. Warga yang bertahan malah dicap pengganggu, diintimidasi, bahkan dikriminalisasi. Suara mereka nyaring, tapi tak pernah benar-benar didengar.

Lalu di manakah peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Halmahera Timur, saat masyarakat adat diinjak-injak oleh kebijakan perusahaan? Padahal dulu kalian datang memohon restu dari mereka. Saat masyarakat butuh kehadiran dan perlindungan kalian, mengapa sunyi tanpa aksi nyata? Apakah kalian aktor di balik semua ini? Jika tidak, mengapa memilih diam?

Max Weber mengingatkan kita bahwa kekuasaan yang sah adalah yang diakui oleh masyarakat yang diperintah. Tapi bagaimana bisa legitimasi itu terwujud jika rakyatnya sendiri tidak diakui? Ketika tanah dan hak hidup masyarakat adat diabaikan, legitimasi kekuasaan menjadi pertanyaan besar.

Sebagai “dapur negara,” Maluku Utara memang menyumbang besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, pertumbuhan itu berjalan di atas luka masyarakat adat yang kehilangan tanah, budaya, dan harapan mereka. Seolah kemakmuran itu hanya milik segelintir orang, sementara mereka yang menjaga bumi dan budaya menjadi korban.

Ini adalah situasi yang menyakitkan dan memunculkan kemarahan. Namun, seperti dikatakan sosiolog Anthony Giddens, perubahan hanya akan terjadi jika kita bersama sadar bahwa struktur yang menindas bisa diubah melalui tindakan kolektif yang sadar.

Maka, mari kita buka mata dan telinga. Mari kita dengarkan suara yang selama ini diabaikan: suara masyarakat adat Maluku Utara yang ingin tanah mereka dihormati, budaya mereka dijaga, dan keberadaan mereka diakui.

Karena tanpa suara mereka, bukan hanya tanah yang hilang. Kita semua akan kehilangan bagian dari kemanusiaan kita sendiri. (*)