Tandaseru — Tim investigasi menyatakan penyebab terjadinya perubahan pada warna air di  Sungai Sagea dan Boki Maruru di Desa Sagea, Halmahera Tengah, bukan karena dampak dari aktivitas pertambangan.

Pernyataan itu merupakan laporan sementara tim investigasi yang terdiri atas Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara, DLH Halmahera Tengah, Dinas Kehutanan, dan Balai PDAS.

Berdasarkan hasil investigasi di lapangan menyebutkan, beberapa perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan di wilayah Sagea dan sekitarnya tidak berdampak langsung ke Boki Maruru.

“Laporan tim yang ada di lokasi seperti itu, memang alirannya ke beberapa sungai yang ada di Halmahera Tengah, tetapi tidak menyebutkan Sungai Boki Maruru,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara Fachruddin Tukuboya saat ditemui tandaseru.com, di Kota Ternate, Rabu (6/9).

Kesimpulan Awal Tim Investigasi di Lapangan

Menurut Fachruddin, tim di lapangan melaporkan bahwa ada potensi terjadinya longsoran di dalam Gua Boki Maruru.

“Perlu digarisbawahi bahwa ini kesimpulan sementara,” ungkapnya.

Ia menambahkan, perlu adanya ahli geologi yang harus masuk ke dalam Gua Boki Maruru untuk memastikan bahwa benar-benar terjadi longsoran.

“Jadi tim kami berkesimpulan sementara bahwa perubahan pada warna air di Boki Maruru karena ada sedimen yang longsor kemudian hujan deras beberapa waktu lalu dan mendorong tanah ke hilir sehingga terjadinya perubahan pada warna air, itu dugaan sementara,” katanya.

DLH, kata dia, merekomendasikan agar ada ahli spesifik yang benar-benar dari geologi untuk meneliti dinding pada Gua Boki Maruru.

“Karena laporan tim yang berada di lokasi kurang lebih lima hari ini seperti itu,” cetusnya.

Rekomendasi Pemberhentian Sementara Aktifitas Pertambangan

Fachruddin bilang, sebelumnya DLH Provinsi Maluku Utara telah mengeluarkan rekomendasi pemberhentian sementara aktifitas lima perusahaan pertambangan menindaklanjuti tuntutan front Selamatkan Kampung Sagea (SEKA) terkait Sungai Boki Maruru dan pesisir dari ancaman tambang.

Kelima perusahaan tersebut yakni PT Weda Bay Nickel, PT Halmahera Sukses Mineral, PT Tekindo Energi, PT Karunia Sagea Mineral, dan PT First Pasific Mining.

“Sebagai pemerintah tentunya kami juga melihat aspirasi masyarakat sebagai hal penting yang harus kami dengar, karena bagaimanapun semua aktivitas pertambangan ini kan tujuannya agar masyarakat sekitar bisa merasakan dampak dari kesejahteraan. Untuk itu, kami berharap dalam prosesnya juga harus sesuai dengan kesepakatan pengelolaan lingkungan, dan itu wajib jangan sampai ada korban gitu,” ujarnya.