Oleh: Igrissa Majid

Founder Indonesia Anti Corruption Network, Alumni Indonesia Jentera School of Law, Jakarta

_______

MELIMPAHNYA kekayaan sumber daya alam Maluku Utara memang sangat menggiurkan bagi para mafia berdasi hingga calo-calo emperan. “Negeri salah urus” ini adalah lumbung investasi bagi industri ekstraktif mancanegara. Potensi sumber daya alamnya tidak sedikit untuk menjamin kelangsungan masa depan kehidupan manusia hingga berabad-abad mendatang.

Ironisnya, publik senantiasa dihibur dengan sepenggal narasi tak bermakna, yakni “daerah pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia” oleh elite-elite Jakarta maupun tuan-tuan lokal. Jelas ini bentuk konspirasi jahat antara pihak korporasi dan pembuat kebijakan, karena kenyataannya tidak ada perubahan signifikan: tingginya angka kemiskinan, rendahnya pendapatan perkapita, menurunnya daya beli masyarakat, dan pengangguran pun paling terkemuka. Menjengkelkan, bukan?

Lantas Siapa yang Paling Diuntungkan

Yang patut kita duga adalah pihak swasta dan pemerintah, baik pusat hingga daerah sebagai pemegang kendali kekuasaan di ranah eksekutif. Mereka berupaya membentuk pemahaman publik tentang jaminan kesejahteraan semu, melalui kebijakan-kebijakan yang “konon” mengentaskan kemiskinan.

Salah satu alibinya adalah pertumbuhan ekonomi yang disokong oleh peran korporasi dapat memenuhi kebutuhan daerah dan menghapus disparitas, bahkan mampu mengurai berbagai kompleksitas lainnya. Pada kenyataannya, di balik kertas kebijakan terkait sumber daya alam hanyalah konspirasi jahat yang muaranya ke masalah marginalisasi, pencaplokan lahan, dan perusakan lingkungan besar-besaran.

Sesungguhnya, rata-rata strategi korporasi besar cukup menarik. Ada saja alasan yang dibuat untuk melancarkan segala kepentingannya. Andrew Beatti, seorang editorial di salah satu media daring populer bernama Investopedia.com, kurang lebih 20 tahun menulis topik-topik bisnis dan investasi, pernah mengungkap dua dari empat alasan investasi di sektor sumber daya alam saat ini dan akan datang.