Tandaseru — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam tindakan represif yang diambil kepolisian dalam penanganan aksi massa di Ternate, Maluku Utara, pada 18 April 2022 kemarin.
Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar dalam siaran pers yang diterima tandaseru.com menyatakan, dalam berbagai video/foto yang tersebar di media sosial, terlihat bahwa polisi begitu brutal menanggapi demonstrasi mahasiswa dengan memukul massa aksi secara membabi buta, menembakkan gas air mata, menembakkan water cannon hingga merusak mobil komando, serta menangkap beberapa demonstran dengan sewenang-wenang.
“Upaya penyampaian pendapat seharusnya tidak disikapi dengan tindakan brutal yang pada akhirnya menimbulkan korban. Kami melihat bahwa lagi-lagi negara dalam hal ini aparat gagap dalam menanggapi kritik publik yang disampaikan lewat metode demonstrasi,” ungkap Rivanlee.

KontraS sendiri mendapatkan informasi unjuk rasa dalam rangka menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Ternate tersebut berakhir dengan kericuhan. Peristiwa terjadi di Jl. Pahlawan Revolusi yakni persisnya di depan kantor wali kota sekitar pukul 17.56 WIT dan jalan menuju Bandara Baabullah depan kampus Universitas Khairun sekitar pukul 15.18 WIT.
Adapun beberapa mahasiswa yang diamankan dalam aksi tersebut yakni:
- Giral (TEKNIK TAMBANG UMMU)
- Farok (HMI)
- Harsono (HMI)
- Ardin (HMI)
- Alfarijik (KAMMI)
- Ariadi (SISWA)
- Ade (LMND)
- Jihan (SOMBAR)
- Fikri (HMI)
- Sanusi (TEKNIK UMMU)
- Bahtiar (SDMN)
- Fuji Pangandro (SDMN)
- Irfan Polaupss (FAKULTAS EKONOMI UNKHAIR)
- Mujahidin Abd Rahim (HMI)
“Selain itu, pembubaran paksa dengan kekerasan tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian bagi mahasiswa, tetapi masyarakat setempat. Salah satunya menimpa bayi berusia 5 bulan yang mengalami sesak nafas akibat terkena gas air mata. Bayi tersebut akhirnya dilarikan ke rumah sakit dengan dibantu oleh warga sekitar,” tutur Rivanlee.
“Kami melihat bahwa penanganan aksi massa yang terjadi ini merupakan bentuk penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force). Tindakan yang diambil tersebut jelas mengangkangi ketentuan internal kepolisian, salah satunya Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 7 Tahun 2012, yang mewajibkan anggota Polri untuk bertindak secara profesional dan menjunjung tinggi HAM dalam kegiatan penyampaian pendapat di muka umum. Selain itu, polisi juga harus menghindari tindakan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, dan melanggar HAM lainnya,” tegasnya.
Polisi, kata Rivanlee, seharusnya dapat menghormati hak para pengunjuk rasa untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat untuk maksud-maksud damai, sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan instrumen hukum perundang-undangan lainnya. Dalam penggunaan kekuatan kepolisian juga harus proporsional sebagaimana disebutkan dalam Perkap 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa.
Tinggalkan Balasan