Oleh: Arafik A Rahman

Penulis Buku

________

PRINSIP causa et effectus sebab dan akibat merupakan salah satu hukum universal yang tak bisa dinafikan oleh manusia. Dalam filsafat moral, prinsip ini menegaskan bahwa setiap tindakan membawa konsekuensi sepadan. Pepatah klasik “apa yang kau tabur, itu yang kau tuai” adalah manifestasi sederhana dari hukum ini, tetapi implikasinya meluas ke ranah individu dan sosial.

Hidup kita seperti ladang yang luas. Setiap kata yang kita ucapkan, setiap janji yang kita buat dan setiap perbuatan yang kita lakukan, adalah benih yang kelak akan tumbuh sesuai jenisnya. Jika kita menanam kejujuran, hasilnya mungkin tak segera tampak, tetapi ia akan bersemi pada waktunya. Sebaliknya, bila menanam kebohongan, jangan kaget bila kita sendiri yang memetik durinya (dibohongi).

Dalam perspektif etika, tindakan baik atau buruk bukan hanya persoalan moral personal, tetapi juga persoalan publik. Kejujuran adalah benih yang jarang orang tabur karena prosesnya lama dan hasilnya tak selalu cepat terlihat. Namun, ketika badai kehidupan datang, pohon kejujuran tetap berdiri, sementara tanaman kebohongan tercabut bahkan sebelum hujan reda.

Misalnya ada seseorang yang gemar mengumpulkan kabar seperti petani mengumpulkan biji. Sayangnya, biji yang ia simpan adalah bisik-bisik fitnah. Setiap hari ia menabur gosip ke ladang percakapan, berharap bunga pujian akan mekar untuknya. Namun, musim panen berkata lain: yang tumbuh hanyalah semak belukar yang melukai langkahnya sendiri. Ia lupa bahwa mulut adalah cangkul dan kata adalah benih.

Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, 1908, hlm. 28, menulis: “We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit.” Bahwa, kita adalah hasil dari apa yang kita lakukan berulang kali. Dengan kata lain, tabiat dan karakter baik individu maupun negara adalah panen dari benih yang kita tanam terus-menerus.

Realitas sosial menunjukkan bahwa kebohongan adalah salah satu benih yang tumbuh cepat, tetapi rapuh. Ia memberi kesenangan sesaat, bahkan kekuasaan singkat, tetapi hasil akhirnya adalah krisis kepercayaan. Sementara itu, kejujuran dan integritas tumbuh perlahan, tetapi hasilnya kokoh: rasa hormat, legitimasi dan stabilitas yang tak mudah roboh.

Dalam perspektif teori interaksi simbolik (Berger & Luckmann, The Social Construction of Reality, 1966), setiap makna yang kita ciptakan melalui kata dan tindakan akan membentuk realitas sosial. Kebohongan yang ditabur elite akan menciptakan lingkaran ketidakpercayaan, bukan hanya kepada individu, tetapi kepada sistem. Sebaliknya, kebaikan akan menumbuhkan budaya saling percaya, fondasi harmoni sosial yang sejati.

Etika tabur-tuai juga tampak dalam dimensi spiritual. Hampir semua agama menekankan prinsip sebab-akibat moral ini. Dalam Islam, misalnya, disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Az-Zalzalah ayat 7–8: “Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya pula).” Tabur-tuai bukan sekadar hukum sosial, tetapi hukum transendental yang mengikat manusia dengan Sang Pencipta.

Immanuel Kant dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals menyatakan: “Act only according to that maxim whereby you can, at the same time, will that it should become a universal law.” Bertindaklah hanya menurut prinsip yang dapat engkau kehendaki menjadi hukum universal. Jika setiap pemimpin menabur kebohongan, dunia akan menjadi ladang pengkhianatan. Sebaliknya, jika mereka menanam kejujuran, dunia akan menjadi taman kepercayaan.

Karena itu, seorang politisi yang pandai menanam janji. Setiap lima tahun, ia menabur kata-kata indah seperti menebar bunga di ladang rakyat. Ladang itu tampak hijau oleh harapan, tetapi ketika musim panen tiba, yang lahir bukan buah kesejahteraan, melainkan duri kebohongan yang menusuk rakyat sendiri. Ia lupa: sejarah adalah musim yang paling setia menagih hasil panen, dan waktu adalah petani yang tak pernah lupa menghitung biji yang telah ditanam.

Maka jelas, tabur-tuai bukan hanya soal individu. Ia menentukan wajah peradaban. Negara yang terbiasa menanam kebohongan akan menuai ketidakpercayaan publik, bahkan kehancuran institusi. Sebaliknya, bangsa yang menanam kejujuran akan menuai harmoni sosial dan legitimasi politik yang kuat.

Kita sering tergoda menanam benih yang cepat tumbuh, seperti janji palsu atau fitnah halus. Tetapi ladang kehidupan tidak pernah memalsukan hasil panennya. Setiap benih akan kembali kepada kita dalam bentuk bunga atau duri. “Jika kau ingin memetik bunga,” kata pepatah lama, “jangan menanam duri.”

Maka, benih apa yang kita genggam hari ini sebagai individu, pemimpin dan bangsa? Apakah kejujuran yang tumbuh perlahan, atau kebohongan yang menjalar cepat namun rapuh? Ingatlah: bumi peradaban tidak pandai berbohong, ia akan memulangkan setiap biji kepada penanamnya.

In the long run, we harvest only what we sow, never more, never less.” Pada akhirnya, kita hanya akan menuai apa yang kita tanam tidak lebih, tidak kurang. (*)