Tandaseru — Di tengah hening alam Halmahera Timur, Maluku Utara, tepatnya di titik pertemuan antara Kali Muria dan Kali SP2 di kawasan Subaim, terekam sebuah ironi yang memukul nurani. Air dari Kali Muria masih jernih, tenang, mencerminkan ketenangan hulu yang belum terusik. Namun, begitu menyatu dengan aliran Kali Mancelele, segalanya berubah: air berubah keruh kecokelatan, sarat lumpur dan sampah plastik.
Foto dan narasi ini dibagikan pengguna Facebook Nurhakiki, Sabtu (26/7/2025), dan dalam waktu singkat menyebar di jagat maya. Dalam unggahannya, ia menulis dengan nada getir, “Lama tara diguyur hujan, sekali hujan, perusahaan tambang panen dosa basar.”
Kalimat tersebut menyinggung kemungkinan bahwa aktivitas pertambangan di sekitar Subaim menjadi penyebab utama rusaknya kualitas air di Kali Mancelele. Ketika hujan turun, limpasan dari area tambang diduga menyeret lumpur dan limbah ke aliran sungai, mencemari perairan dan mengancam ekosistem air tawar.
“Pembangunan seperti dua sisi mata uang. Ada yang digaji, ada yang kehilangan tangkapan,” tulis Nurhakiki, menggambarkan ketimpangan yang ia saksikan langsung. Di satu sisi, pertambangan menghadirkan lapangan kerja dan ekonomi; di sisi lain, ia meninggalkan luka ekologis yang menggerus hidup nelayan dan petani setempat.
Dalam gambar yang ia unggah, kontras antara air bersih dan keruh tampak jelas, membentuk batas yang menyayat logika, satu aliran masih perawan, lainnya tercemar. Ironi ini memantik perbincangan serius soal keberlanjutan dan pengawasan lingkungan di wilayah yang kaya mineral tapi rapuh secara ekologi.
Nurhakiki menutup unggahannya dengan kalimat tajam, “Semoga dong sadar, pintar deng barani, dorang bukan bodoh, tapi buta batin.” Ungkapan ini mencerminkan frustrasi atas sikap diam sebagian pihak yang memiliki kuasa, namun tak kunjung bertindak untuk menyelamatkan lingkungan.
Tinggalkan Balasan