Oleh: Risal M. Nur

_______

UNGKAPANhomo homini lupus”, yang berarti manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, pertama kali dicetuskan oleh Plautus dan kemudian dipopulerkan dalam pemikiran filsuf politik Thomas Hobbes. Hobbes memandang bahwa dalam keadaan alami (state of nature), manusia cenderung saling mencurigai, memperebutkan, dan menghancurkan satu sama lain demi kepentingan diri sendiri. Dalam keadaan tanpa hukum, tanpa moralitas kolektif, dan tanpa otoritas, manusia akan bertindak egois, penuh rasa takut, dan tidak dapat hidup damai.

Konteks ini sangat relevan untuk menggambarkan situasi sosial-politik Indonesia saat ini. Ketimpangan sosial yang semakin lebar, dominasi elite dalam pengambilan keputusan, serta menurunnya solidaritas sosial di kalangan masyarakat menjadi gejala bahwa hubungan antarindividu maupun antarkelompok diwarnai oleh semangat dominasi, eksploitasi, dan perebutan kekuasaan, bukan lagi semangat kolaborasi dan empati.

Fenomena ini terlihat jelas dalam tiga aspek penting kehidupan berbangsa: politik, pendidikan, dan organisasi.

1. Dalam Konteks Politik: Kekuasaan Menjadi Ajang Perebutan, Bukan Pengabdian

Dunia politik Indonesia kini tidak lagi menjadi arena pengabdian kepada rakyat, tetapi lebih sering menjadi gelanggang perebutan kekuasaan yang penuh intrik, manipulasi, dan pengkhianatan. Pemilu yang seharusnya menjadi ruang demokrasi dan perwujudan kehendak rakyat, sering kali berubah menjadi ajang pertarungan para “serigala politik” yang haus akan kuasa.
Fenomena politik uang (money politic), politik identitas, hoaks, dan fitnah menjadi strategi umum yang digunakan untuk menjatuhkan lawan, bahkan sesama rekan partai. Dalam konteks ini, manusia tidak lagi melihat sesamanya sebagai mitra dalam membangun bangsa, tetapi sebagai ancaman yang harus disingkirkan.

Menurut Hobbes, kondisi seperti ini adalah bentuk nyata dari “perang semua melawan semua” (bellum omnium contra omnes), dan dalam masyarakat tanpa aturan moral serta penegakan hukum yang adil, individu cenderung menindas yang lain demi kepentingannya sendiri. Di Indonesia, ini tampak pada cara sebagian elite politik menggunakan instrumen hukum, media, dan kekuasaan untuk mempertahankan dominasi, bukan untuk membela kepentingan rakyat.

2. Dalam Konteks Pendidikan: Persaingan Tanpa Moral dan Krisis Karakter

Sektor pendidikan yang seharusnya mencetak generasi yang cerdas secara intelektual, emosional, dan moral, justru kini dikuasai oleh semangat persaingan yang tidak sehat. Pendidikan berubah menjadi mesin produksi nilai dan ranking, bukan tempat pembentukan karakter. Para siswa didorong untuk saling bersaing keras, bukan berkolaborasi, bahkan tak jarang terjadi praktik-praktik tidak jujur demi meraih prestasi akademik.

Guru yang seharusnya menjadi teladan moral, dalam beberapa kasus justru terlibat dalam kekerasan terhadap siswa, manipulasi nilai, hingga korupsi dana pendidikan. Hal ini mencerminkan bahwa pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya menginternalisasi nilai kemanusiaan dan etika publik.

Krisis moral di dunia pendidikan ini memperlihatkan bahwa “serigala” juga bisa tumbuh di lingkungan yang seharusnya membentuk “manusia seutuhnya”. Pendidikan yang seharusnya membentuk generasi berintegritas justru mencetak individu yang individualistis, oportunis, dan terobsesi pada kesuksesan instan.

3. Dalam Konteks Organisasi:Kolaborasi Terkikis oleh Ambisi dan Kepentingan Pribadi

Organisasi, baik di tingkat kampus, komunitas, hingga lembaga pemerintahan, pada dasarnya dibangun atas asas kolektivitas, kerjasama, dan tujuan bersama. Namun dalam praktiknya, banyak organisasi di Indonesia justru dirusak oleh kepentingan pribadi, dominasi individu tertentu, dan perebutan posisi struktural.

Dalam organisasi mahasiswa, misalnya, tak jarang kompetisi kepemimpinan diwarnai politik transaksional, saling menjatuhkan, dan praktik-praktik manipulatif. Semangat pengabdian digantikan oleh ambisi mendapatkan “jabatan” sebagai alat meraih kekuasaan sosial atau ekonomi. Ini mencerminkan bahwa manusia dalam organisasi pun bisa berubah menjadi “serigala” ketika nilai-nilai etik dan tujuan kolektif tak lagi dijunjung tinggi.

Bahkan dalam organisasi sosial keagamaan, yang seharusnya menjadi ruang refleksi dan penguatan nilai spiritual, sering kali terjadi konflik internal karena perebutan otoritas atau ketidakterimaan terhadap perbedaan pandangan. Hal ini menunjukkan bahwa di mana pun struktur kekuasaan dan kepentingan bermain, relasi antarmanusia rentan mengalami degradasi moral.

Refleksi dan Jalan Keluar

Situasi ini harus menjadi bahan refleksi bagi seluruh elemen bangsa. Jika manusia terus bertindak seperti serigala bagi sesamanya, maka masyarakat hanya akan terjerumus dalam lingkaran konflik, ketimpangan, dan disintegrasi sosial. Untuk itu, kita perlu:

  • Memperkuat pendidikan karakter dan etika publik dalam kurikulum pendidikan nasional
  • Menegakkan hukum secara adil dan konsisten agar tidak ada ruang bagi para predator kekuasaan
  • Membangun budaya organisasi yang inklusif, kolaboratif, dan berbasis nilai, bukan sekadar ambisi struktural
  • Memperbarui etika politik agar kekuasaan kembali menjadi alat pengabdian, bukan instrumen dominasi.

Seperti kata filsuf Prancis, Michel Foucault, “di mana ada kekuasaan, di situ pula ada perlawanan.” Maka dari itu, menghadapi dominasi manusia atas manusia lainnya, diperlukan kekuatan moral, hukum, dan solidaritas kolektif untuk melawan budaya predatoris ini.

Penutup

Indonesia sedang berdiri di persimpangan jalan antara menjadi bangsa yang beradab atau bangsa yang dikuasai naluri serigala. Bila kita gagal membangun sistem sosial yang adil, pendidikan yang bermoral, serta organisasi yang etis, maka kita akan terus terjebak dalam spiral egoisme, dominasi, dan saling memangsa. Maka, tugas kita bukan hanya menolak menjadi serigala, tetapi juga membangun peradaban yang membuat manusia kembali menjadi manusia. (*)