Oleh: Fahmi Djaguna
Dekan FKIP UNIPAS Morotai
________
TANGGAL 23 Juli 2025 menjadi momentum bersejarah bagi anak-anak di Pulau Morotai. Bertempat di Islamic Center Kabupaten Pulau Morotai, gema kampanye Hari Anak Nasional (HAN) 2025 menggema dengan semangat baru yakni “Tong Baku Jaga”, sebuah frasa nilai lokal yang bermakna jaga bersama, rawat bersama, dan bertumbuh bersama. Artinya ini bukan sekadar slogan seremonial, melainkan panggilan nurani kolektif untuk menghadirkan sistem perlindungan anak yang hidup, tanggap, dan berkeadilan.
Kampanye ini diselenggarakan oleh Stimulant Institute dan Save the Children Indonesia melalui Program Kolaborasi untuk Edukasi Anak Indonesia (KREASI), dengan dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Pulau Morotai dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNIPAS Morotai. Dan mengusung tema “Dukung Wadah Forum Anak Daerah Pulau Morotai untuk Keberlanjutan Estafet Tata Kelola Pemerintahan Ramah Anak,” kegiatan ini membuktikan bahwa perlindungan anak bukan urusan satu pihak, melainkan gerakan bersama, lintas sektor dan lintas generasi.
Kegiatan kampanye ini dibuka langsung oleh Wakil Bupati Pulau Morotai, Rio Christian Pawane, dimana dalam sambutannya dengan tegas menyampaikan bahwa anak-anak adalah aset masa depan bangsa dan daerah. Maka, sudah menjadi kewajiban moral dan struktural seluruh elemen pemerintah, sekolah, keluarga, komunitas, hingga masyarakat luas, untuk melindungi dan memajukan hak-hak mereka. Pesan ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup bangsa dan negara.
Keistimewaan dari kampanye ini terletak pada pendekatannya yang partisipatif dan berbasis suara anak. Tidak seperti kegiatan seremonial tahunan yang kerap berhenti di panggung dan baliho, HAN 2025 di Morotai justru membuka ruang ekspresi dan partisipasi aktif anak-anak melalui Forum Anak Daerah. Mereka menyampaikan aspirasi, kekhawatiran, dan harapan kepada para pengambil kebijakan. Inilah demokrasi masa depan yaitu inklusif, setara, dan mendengar suara yang selama ini kerap diredam.
Juga, dalam kampanye ini dihadiri oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, MH, menjadi penguat moral bahwa isu perlindungan anak di wilayah kepulauan seperti Morotai adalah isu strategis nasional. Daerah kepulauan menghadapi tantangan ganda, karena keterbatasan infrastruktur, akses informasi, serta lemahnya kapasitas sistem pendukung anak. Maka, dukungan program seperti KREASI menjadi sangat penting untuk menjembatani disparitas pembangunan dan memperkuat ketahanan sosial komunitas.
Istilah “Tong Baku Jaga” dalam konteks ini tidak hanya sekadar ungkapan lokal yang hangat, tetapi juga simbol kekuatan sosial. Dalam masyarakat Morotai yang dikenal dengan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong, konsep ini bisa menjadi filosofi pembangunan sistem perlindungan anak yang berbasis komunitas. Dalam buku Child Protection Systems: International Trends and Orientations (Gilbert, Parton, & Skivenes, 2011), disebutkan bahwa keberhasilan sistem perlindungan anak tidak hanya bergantung pada hukum dan kebijakan, tetapi juga pada struktur sosial yang mendukung anak dalam konteks keluarga dan komunitas.
Melalui Forum Anak Daerah, anak-anak diajak bukan hanya sebagai penerima manfaat, tetapi sebagai agen perubahan. Mereka belajar menyampaikan pendapat, berdialog dengan pemimpin daerah, dan menyusun rekomendasi. Ini adalah bentuk penguatan literasi sipil dan demokrasi anak sejak dini. Dalam pandangan Hart (2015) dalam bukunya Children’s Participation: From Tokenism to Citizenship, partisipasi anak harus diposisikan sebagai bentuk keterlibatan otentik, bukan sekadar simbolis.
Kampanye HAN 2025 juga menandai pentingnya sinergi antara dunia pendidikan dan isu perlindungan anak. Kehadiran FKIP UNIPAS Morotai dalam kegiatan ini memperlihatkan bahwa kampus bukan menara gading, melainkan mitra strategis dalam membentuk ekosistem pendidikan yang ramah anak. Guru dan pendidik menjadi garda depan dalam menciptakan ruang aman bagi tumbuh kembang anak, baik secara intelektual, emosional, maupun sosial.
Lebih dari itu, kampanye ini menyiratkan bahwa pembangunan Morotai ke depan tidak bisa dilepaskan dari pembangunan karakter anak-anak hari ini. Ketika anak-anak merasa aman, dihargai, dan dilibatkan, mereka akan tumbuh menjadi warga negara yang percaya diri, kritis, dan bertanggung jawab. Mereka bukan hanya pemimpin masa depan, tetapi juga penjaga nilai-nilai hari ini.
Oleh karena itu, peringatan HAN 2025 di Morotai harus menjadi titik tolak. Tidak cukup satu kali dalam setahun membicarakan perlindungan anak. Diperlukan sistem pengawasan, pendampingan, dan pemulihan yang konsisten. Perlu dibentuk regulasi daerah yang mengikat dan anggaran yang berpihak. Perlu ada pelatihan rutin bagi guru, tenaga kesehatan, aparat desa, hingga orang tua. Perlindungan anak adalah ekosistem, bukan proyek jangka pendek.
Semangat “Tong Baku Jaga” adalah panggilan bagi kita semua. Saat anak-anak bersuara, kita wajib mendengar. Saat mereka jatuh, kita harus mengulurkan tangan. Dan saat mereka bermimpi, sudah menjadi tugas kita bersama untuk menyediakan langit yang cukup luas bagi cita-cita mereka terbang. Karena pada akhirnya, bangsa yang besar bukanlah yang memiliki kekayaan alam melimpah, melainkan bangsa yang menjadikan anak-anaknya sebagai poros utama dalam setiap kebijakan pembangunan. Semoga! (*)
Tinggalkan Balasan