Oleh: Irfan Hi. Abd Rahman
Presidium KAHMI Pulau Morotai
________
DALAM beberapa waktu terakhir, wacana pemekaran Sofifi kembali ramai disuarakan oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Bahkan, di sejumlah kesempatan resmi di depan presiden Prabowo, Gubernur secara terbuka menyampaikan bahwa Sofifi layak menjadi daerah otonom baru (DOB). Narasi ini disampaikan dengan semangat tinggi, namun sayangnya tidak disertai kepekaan terhadap konteks sosial-politik yang lebih luas di provinsi Maluku Utara.
Pemekaran daerah bukan hal tabu dalam dinamika desentralisasi. Ia sah-sah saja sebagai bentuk rekayasa kelembagaan dan memperbaiki layanan publik serta mempercepat pembangunan. Namun dalam kasus Sofifi, pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah wacana tersebut mencerminkan kehendak kolektif rakyat, atau hanya artikulasi sepihak dari elite birokrasi terutama gubernur?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dua aktor penting Kesultanan Tidore dan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan secara terbuka menyatakan penolakan terhadap gagasan pemekaran Sofifi menjadi DOB. Dua institusi ini memiliki legitimasi historis dan administratif terhadap kawasan tersebut. Maka, tanpa keterlibatan dan persetujuan mereka, sulit rasanya menyebut pemekaran Sofifi sebagai kehendak rakyat. Apalagi hingga kini belum terlihat adanya proses konsultasi publik yang inklusif dan terbuka.
Narasi pembangunan yang dibangun dari atas tanpa basis partisipatif dari bawah sering kali berujung pada resistensi sosial. Prosedur formal saja tidak cukup. Diperlukan legitimasi sosial-kultural yang lahir dari proses dialog dan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan. Disisi lain publik patut bertanya dimana DOB Obi, Subaim, Galela Loloda, dan Kao-Malifut? Nyaris absen dari narasi resmi Gubernur. Padahal wilayah-wilayah ini telah lama mengajukan aspirasi DOB dengan dasar kebutuhan objektif seperti keterisolasian layanan publik, potensi ekonomi, serta identitas sosial yang mapan. Ketimpangan perhatian ini mencerminkan apa yang oleh David Harvey disebut sebagai geographies of injustice di mana wilayah-wilayah tertentu dipinggirkan bukan karena tidak layak, melainkan karena tidak memiliki daya tarik politis bagi penguasa.
Ini bukan lagi soal teknokrasi atau efisiensi pemerintahan. Ini adalah soal siapa yang diperjuangkan dan siapa yang diabaikan. Jika kebijakan pemekaran hanya berlaku untuk yang dekat dengan kekuasaan baik geografis maupun politik, maka makna otonomi daerah dan pembangunan partisipatif di Maluku utara telah kehilangan arah. Lebih ironis, perhatian besar terhadap Sofifi ini tidak diiringi dengan keseriusan serupa terhadap daerah lain yang telah lama menyuarakan aspirasi pemekaran (Obi, Subaim, Galela, Loloda, dan Kao-Malifut) merupakan wilayah-wilayah yang secara geografis terpencil dan secara administratif menghadapi tantangan besar dalam akses pelayanan publik. Aspirasi pemekaran dari wilayah-wilayah ini telah mengemuka bertahun-tahun lamanya, namun nyaris tak terdengar dalam kebijakan resmi pemerintah provinsi maluku utara. Tidak pernah tersentuh baik secara narasi dari gubernur, Tidak ada forum strategis, tidak ada kajian teknokratik yang dipublikasi, dan tidak ada lobi gubernur yang nyata ke pemerintah pusat dibanding sofifi.
Keadaan ini memperlihatkan adanya ketimpangan narasi dan spasial dalam perhatian pemerintah terhadap wilayah-wilayah di Maluku Utara. Dalam kajian perencanaan wilayah, kondisi ini disebut sebagai preferential bias suatu kecenderungan pengambil kebijakan untuk memprioritaskan wilayah-wilayah yang secara politik lebih dekat atau secara simbolik lebih penting, walau secara objektif tidak lebih mendesak. Inilah bentuk ketidakadilan spasial yang paling nyata.
Pemekaran Sofifi tetap mungkin diperjuangkan, tetapi seyogianya dilakukan melalui mekanisme yang deliberatif dan menghormati struktur sosial yang ada. Pemerintah provinsi seharusnya duduk bersama dengan Pemerintah Kota Tidore, Kesultanan Tidore, dan masyarakat adat untuk membicarakan arah pembangunan kawasan ini secara menyeluruh. Jangan sampai proyek pemekaran justru menjadi pemicu fragmentasi sosial yang tidak perlu.
Jika Gubernur benar-benar memiliki komitmen yang sama untuk mendorong pemekaran wilayah lain, semestinya langkah konkret telah dilakukan dengan menyusun peta jalan DOB, membentuk tim kajian, menjalin komunikasi dengan DPR RI dan Kementerian Dalam Negeri, serta mengarusutamakan narasi-narasi keadilan wilayah dalam setiap forum strategis. Jika semua itu tidak dilakukan, maka yang tersisa hanyalah wacana yang hampa dan tidak berakar.
Maluku Utara bukan hanya Sofifi. Ia adalah gugus ruang yang terdiri atas banyak entitas lokal yang memiliki hak yang setara untuk diperjuangkan. Pemekaran wilayah seharusnya menjadi instrumen pemerataan, bukan ekspresi ketimpangan baru. Dalam pembangunan, yang terpenting bukan siapa yang paling nyaring, melainkan siapa yang paling diikutsertakan.
Sekali lagi Gubernur sebagai pemimpin seluruh wilayah provinsi maluku utara seyogianya tidak bersikap selektif dalam mendorong wacana pemekaran daerah. Mengangkat Sofifi terus-menerus dalam ruang publik, tetapi menutup mata terhadap daerah-daerah lain di provinsi maluku utara yang telah lama menyuarakan hal serupa, sikap tersebut memperlihatkan sikap yang tidak proporsional sebab Kao-Malifut, Galela, Subaim, dan Obi selama bertahun-tahun telah mengajukan aspirasi pemekaran tetapi mengapa tidak sedikitpun tersentuh perhatian pemerintah Provinsi Maluku Utara. (*)
Tinggalkan Balasan