Tandaseru — Penahanan 11 warga Maba Sangaji yang memperjuangkan hak tanah adat mereka di Halmahera Timur, Maluku Utara, dikritisi akademisi Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate, Abdul Kadir Bubu.
Latar belakang kesebelas warga Maba Sangaji ini adalah petani, di mana aktivitas mereka sehari-hari keluar masuk kebun bahkan hutan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kehidupan mereka bergantung pada hutan tanah adat, yang mereka jaga sejak dulu hingga saat ini.
Namun, sayangnya, tempat mereka mencari kehidupan seketika dirusaki oleh perusahaan tambang yakni PT Position yang berimbas pada pencemaran air kali Sangaji, dan tanaman seperti buah pala, cengkeh, pisang dan kelapa, rusak bahkan mati.
Atas kerusakan itu pula, 11 warga Maba Sangaji melakukan pembelaan dan memperjuangkan tanah mereka. Tetapi, aksi itu dianggap menghalangi aktivitas Position oleh kepolisian. 11 warga tersebut ditangkap dan digiring ke Polda Maluku Utara hingga ditetapkan sebagai tersangka.
Abdul Kadir Bubu menilai, aparat penegak hukum (APH) tidak memahami Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 66 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di mana, kata dia, setiap warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata.
Hal ini juga, tegas dia, sebagaimana yang tertuang dalam Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum Bagi Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang baik dan Sehat.
“Aparat penegak hukum tidak paham soal Undang-undang Lingkungan. Warga yang aksi di kawasan tambang notabene petani, mereka sehari-harinya ke kebun atau hutan menggunakan parang dan tombak atau sejenisnya, karena memang seperti itu. Salahnya di mana? Mereka petani dan untuk kawasan hutan Halmahera Timur itu bukan sesuatu yang aneh jika mereka bawa alat-alat itu. Beda halnya kalau seperti kita di kota-kota besar, kalau aksi kemudian bawa parang atau tombak, itu kan aneh. Contoh saja, pernah waktu kampanye musim politik kemarin, ada massa pendukung dari salah satu paslon yang aksi membawa parang dan tombak di depan jalan umum, tapi kenapa polisi tidak tangkap? Janganlah membuat narasi warga yang membela tanah adat mereka sebagai tindakan kriminalisasi. Mereka berjuang untuk tanah adat dan lingkungan,” ujarnya, Rabu (23/7/2025).
Tindakan Polda Malut atas kriminalisasi terhadap warga ini diduga sebagai tindak bekingan. Lembaga yang semestinya mengayomi dan melindungi masyarakat, diduga menjadi benteng untuk anak perusahaan konglomerasi ini berlindung.
“Ini sangat mungkin dengan keadaan seperti ini. Saya juga dari awal berkesimpulan begitu. Konflik lingkungan yang terjadi dan masyarakat yang dikalahkan, itu perusahaan tidak berdiri sendiri. Selalu dibekingi oleh aparat pemerintahan, dalam hal ini keamanan,” ungkapnya.
Abdul Kadir juga menyebut ada pelanggaran HAM dalam penangkapan 11 warga Sangaji Maba. Baginya, apa yang dilakukan warga bukan semata-mata soal hak lingkungan, tetapi ini juga menyangkut hak hidup.
“Karena dorang (mereka, red) menuntut hak hidup atas lingkungan yang sehat dan baik,” ujarnya.
Ia juga menekankan, apabila polisi paham Undang-undang Lingkungan, maka mereka akan melindungi warga yang menyuarakan hak, bukan sebaliknya ditangkap seperti kasus pembunuhan atau perbuatan kriminal yang berat.
“Dorang ini mesti dilindungi, bukan dikriminalisasi. Antara sungai dengan kehidupan masyarakat adat atau petani, itu satu. Tidak bisa dipisahkan. Kalau polisi pakai Undang-undang Darurat, sekarang saya tanya apa yang darurat? Kalau masyarakat petani membawa perkakas mereka sehari-hari ke hutan, kemudian dalam rangka menyampaikan aspirasi atas hak lingkungan, lantas apa yang disebut darurat?” cetusnya.
Di sisi lain, berdasarkan informasi yang diperoleh oleh Abdul Kadir, PT Position diduga telah menyerobot lahan. Sedikitnya ada dua perusahaan tambang di kawasan itu yang diduga lahannya pun diserobot. Bahkan ada indikasi pemalsuan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
“Ini harus menjadi perhatian para petinggi di pusat, IUP PT Position harus dicabut, karena prosesnya sementara berjalan ini, dan dugaannya Position ini serobot lahan perusahaan lain di kawasan itu. Mereka juga jelas-jelas merusak lingkungan yang dampaknya mengintimidasi warga Maba Sangaji dengan penahanan,” bebernya.
Abdul Kadir pun meminta hakim Pengadilan Negeri Soasio Tidore menggunakan hati nurani dalam menangani perkara ini.
“Hakim masih bisa membuka mata dan menggunakan hati untuk perkara yang sedang berjalan ini. Karena 11 warga yang ditahan ini berprofesi sebagai petani, sebagai pula masyarakat adat yang bergantung pada hutan, sungai dan alam di Haltim. Segalanya ada di sana. Di sisi lain mereka adalah tulang punggung dan kepala keluarga dari anak istri yang sudah berbulan-bulan mereka tinggalkan karena ditahan. Hakim harus melihat ini pakai hati nurani,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan